Jumat, 02 Maret 2012

Pengantar Metode Syarah Hadis



METODOLOGI SYARAH HADIS
MENUJU PEMBELAJARAN HADIS YANG BENAR DAN EFEKTIF[1]

Oleh: Drs. Mujiyo, M.Ag.[2]


A. Pendahuluan


Sering   kali istilah syarah bagi hadis diidentikkan dengan tafsir bagi Al-Quran. Dilihat dari fungsinya, hal itu dapat dibenarkan. Keberadaan syarah bagi hadis adalah untuk menjelaskan makna hadis dan mengeluarkan petunjuk hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Secara etimologi syarah dan tafsir tidak sama, karena konotasi yang dipahami secara umum dari kata syarah hanya menguraikan, dalam arti tidak disertai upaya kreatif dan produktif untuk mencari makna di luar petunjuk teks, atau hanya sebuah eksplanasi. Sementara konotasi terakhir ini telah melekat dalam kata tafsir. Akan tetapi kenyataannya kitab-kitab syarah hadis yang ada tidak semata-mata menguraikan makna hadis, melainkan juga menafsirkan dan menggali kandungan hukum serta hikmahnya. Dengan demikian secara praktis syarah dan tafsir tidak berbeda.
Syarah tidak hanya berupa uraian dan penjelasan terhadap suatu kitab secara keseluruhan, melainkan uraian dan penjelasan terhadap sebagian dari kitab, bahkan uraian terhadap satu kalimat atau suatu hadis, juga disebut dengan syarah. Maka dari itu apabila dikatakan syarah suatu kitab tertentu, seperti syarah Shahîh al-Bukhârî, syarah Alfiyyah Al-`Irâqî, dan syarah Qurrat al-`Ayn, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap kitab tersebut secara keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan “syarah hadis” secara mutlak, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap suatu hadis tertentu, yaitu ucapan, tindakan, atau ketetapan Rasulullah Saw. beserta sanadnya.
Di samping itu, syarah tidak harus secara tertulis atau berbentuk kitab dan karya tulis lainnya, melainkan bisa juga secara lisan. Oleh karena itu, karya tulis yang menguraikan dan menjelaskan makna dan maksud suatu hadis, seperti dalam makalah dan artikel, dapat disebut sebagai syarah. Demikian juga uraian dan penjelasan hadis secara lisan dalam proses belajar, pengajian, khutbah, ceramah, dan sejenisnya bisa juga disebut sebagai kegiatan mensyarah hadis.
Posisi hadis secara umum merupakan sumber ajaran Islam yang terpelihara dari kesalahan. Dengan demikian, syarah hadis berarti mensyarah sumber ajaran Islam yang salah satu tuntutannya adalah menggali hukum dan hikmah yang terdapat di dalamnya, sehingga dari sisi ini syarah hadis identik dengan tafsir Al-Quran, yaitu sama-sama menjelaskan dan mengungkap seluruh kandungan lafal yang dijelaskan, baik hukum maupun hikmah. Maka dari itu definisi syarah hadis adalah sebagai berikut,[3]
شَرْحُ الْحَدِيْثِ هُوَ بَيَانُ مَعَانِي الْحَدِيْثِ وَاسْتِخْرَاجُ فَوَائِدِهِ مِنْ حُكْمٍ وَحِكْمَةٍ
Syarah hadis adalah menjelaskan makna-makna hadis dan mengeluarkan seluruh kandungannya, baik hukum maupun hikmah.
Definisi ini hanya menyangkut syarah terhadap matan hadis, sedangkan definisi syarah yang mencakup semua komponen hadis itu, baik sanad maupun matannya, adalah sebagai berikut,
شَرْحُ الْحَدِيْثِ هُوَ بَيَانُ مَايَتَعَلَّقُ بِالْحَدِيْثِ مَتْنًاوَسَنَدًا مِنْ صِحَّةٍ وَعِلَّةٍ وَبَيَانُ مَعَانِيْهِ وَاسْتِخْرَاجُ اَحْكَامِهِ وَحِكَمِهِ.
Syarah hadis adalah menjelaskan keshahihan dan kecacatan sanad dan matan hadis, menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Dengan definisi di atas, maka kegiatan syarah hadis secara garis besar meliputi tiga langkah, sebagai berikut,
1. Menjelaskan kuantitas dan kualitas hadis, baik dari sisi sanad maupun dari sisi matan, dan baik global maupun rinci. Hal ini meliputi penjelasan tentang jalur-jalur periwayatannya, penjelasan identitas dan karakteristik para priwayatnya, serta analisis matan dari sisi kaidah-kaidah kebahasaan.
2. Menguraikan makna dan maksud hadis. Hal ini meliputi penjelasan cara baca lafal-lafal tertentu, penjelasan struktur kalimat, penjelasan makna leksikal dan gramatikal serta makna yang dimaksudkan.
3. Mengungkap hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Hal ini meliputi istinbath terhadap hukum dan hikmah yang terkandung dalam matan hadis, baik yang tersurat maupun yang tersirat.
B. Latarbelakang Perlunya Syarah Hadis
Kegiatan mensyarah hadis secara praktis telah dimulai sejak zaman Rasulullah Saw. Hal ini terbukti dengan seringnya Rasulullah Saw. memberikan penjelasan terhadap sabda dan tindakannya sendiri sehubungan dengan pertanyaan sebagian sahabat yang ingin mengetahui lebih lanjut maksud dan makna di balik itu. Di antara faktor penyebab munculnya pertanyaan tersebut adalah karena pengetahuan dan pemahaman para sahabat terhadap hadis Rasulullah Saw. tidak sama, baik karena perbedaan kecerdasan mereka atau karena perbedaan kesempatan mereka menyertai beliau.
Di samping mereka bertanya kepada Rasulullah Saw, sebagian mereka juga sering bertanya kepada sebagian yang lain, sehingga para sahabat senior senantiasa menjadi tumpuan pertanyaan para sahabat yang lebih muda dan para tabi`in.
Contoh-contoh bagi kedua kasus tersebut bertebaran sangat banyak dalam berbagai kitab hadis, di antaranya adalah penjelasan Rasulullah Saw. tentang ucapan beliau sendiri setelah mendapatkan pertanyaan para sababat adalah hadis tentang tujuh dosa besar yang menghancurkan iman, sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Hurairah. Contoh pertanyaan antar para sahabat adalah hadis-hadis tentang tata-cara mandi janabah dan hukum bersetubuh yang tidak terjadi ejakulasi. Kasus yang terakhir ini dapat dilihat dalam Musnad Ahmad hadis nomor 20182.
Bila para sahabat memerlukan penjelasan tentang ucapan Rasulullah Saw. yang mereka dengar atau tindakan yang mereka lihat secara langsung, maka generasi berikutnya dapat dipastikan lebih memerlukan lagi. Lebih-lebih umat Islam yang bukan dari kalangan bangsa Arab dan secara umum tidak mampu memahami bahasa Arab yang digunakan oleh Rasulullah Saw. dengan baik seperti kemampuan yang digambarkan oleh kemampuan para sahabat itu. Penekanan agar semua umat ini memahami bahasa Arab dengan baik bukanlah penekanan yang bijaksana. Maka dari itu syarah hadis merupakan sesuatu yang sangat perlu dilakukan, sebagaimana halnya tafsir Al-Quran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latarbelakang perlunya syarah hadis ada empat faktor, yaitu:
a. Karakter kalimat yang digunakan dalam sabda Rasulullah Saw. dalam banyak hal sangat mirip dengan karakter kalimat dalam firman Allah Swt. Firman Allah dalam Al-Quran dan sabda Rasulullah dalam sunnahnya merupakan standar bagi ilmu-ilmu bahasa Arab, yaitu nahwu, sharaf, balâghah, dan lainnya.[4] Maka dari itu sabda beliau sering mengandung kata yang majâz, mutlak, mujmal, dan sebagainya. Kata yang demikian tidak senantiasa mudah dipaham, termasuk oleh para sahabat. Karakter lainnya adalah simpel dan sering menggunakan dialek yang kadang-kadang disesuaikan dengan khalayak yang mendengarnya secara langsung, dan bukan dialek Quraisy.
 Di samping itu, tidak jarang pula beliau menggunakan kalimat yang sangat sarat dengan makna yang sering disebut dengan jâmi`al-kalim, seperti kata-kata “Al-harb khud`ah” (perang itu penuh dengan siasat/tipudaya), juga hadis “Al-mâ’u min al-mâ’” (Kewajiban mandi dengan air itu tidak lain karena ejakulasi). (HR Muslim).[5]
M. Syuhudi Isma`il menambahkan bentuk matan yang lain –berdasarkan karakter redaksinya- selain jâmi`al-kalim, yaitu bahasa tamsil, ungkapan simbolik, bahasa percakapan, dan ungkapan analogi.[6] Matan hadis dengan sejumlah karakternya tentu tidak dapat dipaham secara benar dengan pendekatan yang sama, yakni hanya dengan pendekatan terhadap redaksi kalimat yang standar.
b. Tindakan Rasulullah Saw. yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang dan tidak senantiasa berkaitan dengan petunjuk wahyu. Para sahabat meriwayatkan tindakan beliau sesuai dengan hasil pengamatan dan pemahamannya masing-masing. Sehubungan dengan itu perlu dilakukan klasifikasi yang benar terhadap tindakan Rasulullah Saw. agar mudah diketahui tindakan mana yang mutlak harus diikuti, tindakan mana yang boleh atau sebaiknya diikuti, dan tindakan mana yang tidak boleh diikuti.
c. Hadis merupakan sumber ajaran agama Islam. Oleh karena itu, pada umumnya hadis berisi ketentuan pokok pada setiap permasalahan. Kalaupun mencakup rincian dari suatu permasalahan, namun pada umumnya rinciannya itu terikat oleh waktu, situasi, dan lingkungan. Di samping itu kelahiran hadis terjadi sejak Rasulullah Saw. diangkat menjadi rasul hingga beliau wafat. Selama itu hadis telah melalui berbagai kondisi yang berkembang sesuai dengan perkembangan kadar keimanan dan pengetahuan para sahabat secara umum serta perkembangan sektor lain, sehingga tidak menutup kemungkinan ketentuan hukum suatu kasus juga mengalami perkembangan dan menimbulkan nasikh dan mansukh.
Di samping itu dengan wafatnya Rasulullah Saw. dapat dipastikan banyak persoalan baru yang muncul tidak tersentuh oleh hadis, kecuali apabila hadis dikaji secara kontekstual dengan memperhatikan berbagai perkembangan yang terjadi dan persoalan makro yang dihadapi umat Muslim. Sementara itu hadis berlaku secara universal, mengikat semua lapisan masyarakat Muslim, kecuali apabila padanya terdapat indikasi takhshîsh. Sehubungan dengan itu semua, hadis memerlukan penjelasan yang tepat agar dapat diterima dengan penuh kesiagaan.
Keberadaan hadis sebagai sumber ajaran agama Islam tidak akan dapat digeser, meskipun ia hanya merupakan sebagian dari catatan sejarah perjalanan hidup Rasulullah Saw. Sehubungan dengan itu Allah Swt. menegaskan bahwa apapun yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. kepada umatnya, mereka wajib menerimanya, dan apapun yang beliau larang, mereka wajib menjauhinya (QS Al-Hasyr: 7). Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah, maka untuk membuktikannya ia harus mengikuti contoh dari Rasulullah Saw., sehingga ia akan memperoleh cinta-Nya dan akan mendapatkan ampunan-Nya (QS Ali Imran: 31).
Penjelasan (bayân) Rasulullah Saw. terhadap Al-Quran, baik dengan ucapan maupun dengan tindakan, merupakan batasan nilai bagi para peminat kajian dan penafsiran Al-Quran, meskipun Al-Quran bersifat terbuka untuk dipahami dan ditafsirkan dengan berbagai metode pemahaman dan penafsiran, sehingga pemahaman dan interpretasi terhadapnya dapat senantiasa berkembang dan aktualitas Al-Quran menjadi semakin nyata. Para pemikir kontemporer mensinyalir bahwa boleh jadi penafsiran Rasulullah tentang suatu ayat bukan lagi merupakan penafsiran yang terbaik dan paling benar apabila dikaitkan dengan perkembangan umat manusia dengan segala permasalahannya dewasa ini. Pemahaman dan penafsiran Al-Quran yang melampaui materi keterangan Rasulullah Saw. dewasa ini merupakan hal yang logis, karena problematika hidup beragama semakin kompleks, namun hendaknya tidak melampaui nilai-nilai yang terkandung dalam keterangan beliau.
d. Umat Islam diwajibkan untuk berpegang kepada sunnah Rasulullah Saw. dalam ketentuan akidah, ibadah, dan pelaksanaan kegiatan ritual keagamaan serta kegiatan sosial. QS Al-Nisa’: 59 menegaskan bahwa seluruh orang Mukmin wajib taat kepada Allah dan rasul-Nya, serta ulil amr. Ketaatan kepada Allah dan kepada Rasulullah Saw. merupakan satu paket, sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Nisa: 13, 69, 80, QS Al-Nur: 52, dan QS Al-Fath: 17. Namun kondisi umat Islam pada umumnya tidak mampu memahami sunnah atau hadis secara langsung, karena untuk memahami hadis secara langsung itu dibutuhkan sejumlah ilmu pendukung, baik ilmu dirâyah maupun imu riwâyah hadis. Untuk memahami hadis dengan baik tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab, termasuk dengan berpegang kepada terjemahan hadis secara harfiah.
Ibnu Mas`ud menyatakan bahwa meriwayatkan hadis kepada masyarakat yang tidak dapat memahaminya dengan benar justru akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka, sebagaimana diriwayatkan Muslim.
اِنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَالَ مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً /رواه مسلم/[7]
Sesungguhnya Abdullah bin Mas`ud berkata, “Setiap kamu menyampaikan suatu hadis kepada suatu kaum yang mereka tidak dapat memahaminya pastilah hadis itu akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.” (HR Muslim).
Pernyataan Ibnu Mas`ud di atas menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan hadis kepada kaumnya hendaknya berusaha untuk memberikan pemahaman kepada mereka dengan uraian seperlunya. Hal ini menunjukkan bahwa akibat lebih lanjut dari fitnah yang terjadi karena periwayatan hadis yang kurang jelas tidak hanya merupakan kesalahan kaum yang tidak mampu memahami hadis tersebut, melainkan juga merupakan kesalahan orang yang meriwayatkannya karena tidak menyertainya dengan keterangan yang mereka perlukan.
Selain itu ada faktor lain yang melatarbelakangi perlunya syarah hadis dalam bentuk yang lebih praktis, yakni latarbelakang penulisan kitab-kitab syatah hadis, dan hal ini sangat bervariasi dan bergantung kepada kepekaan penulis kitab syarah yang bersangkutan. Adakalanya suatu kitab syarah ditulis semata-mata untuk menjembatani antara Rasulullah Saw. dengan umatnya, adakalanya karena permintaan pihak lain, dan adakalanya untuk kepentingan madzhab. Motiv-motiv penulisan kitab syarah itu dapat diketahui melalui kata pengantar dan mukaddimah masing-masing kitab syarah itu.
Sehubungan dengan penulisan kitab-kitab syarah secara umum Haji Khalifah dalam Kasyf al-Zhunûn[8] mengemukakan tiga alasan yang melatarbelakanginya, yaitu: Pertama, redaksi dan makna dalam kitab matan menggunakan uslub yang sangat simpel dan sarat dengan makna yang mendetail. Sehubungan dengan alasan ini kadang-kadang seorang penulis kitab membuat sendiri syarah kitab tersebut, seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani mensyarah sendiri kitab Nukhbat al-Fikr dengan judul Nuz-hat al-Nazhar fî Tawdhîh Nukhbat al-Fikr. Kedua, membebaskan kitab matan dari muatan-muatan logika yang sudah sangat jelas atau yang diadopsi dari disiplin ilmu lain dengan menjelaskan irrelevansi-nya dan menggantikannya dengan logika lain yang lebih relevan dengan tema bahasan. Ketiga, adanya peluang bagi sejumlah penafsiran dan ta’wîl terhadap redaksi kitab matan. Sehubungan dengan alasan ini pensyarah perlu menjelaskan maksud semula penulis kitab matan yang bersangkutan.

C. Ruang Lingkup dan Pendekatan Syarah
Dilihat dari segi komponen hadis yang perlu dijelaskan, maka ruang lingkup syarah hadis meliputi syarah terhadap sanad hadis dan syarah terhadap matan hadis. Dilihat dari segi informasi yang perlu dikemukakan dari suatu hadis, maka ruang lingkup syarah hadis meliputi penjelasan tentang kualitas dan kuantitas hadis, penjelasan tentang lingkup kehujjahan hadis, dan penjelasan tentang petunjuk serta kandungan hadis. Dilihat dari segi karakter hadis dan kewenangan pensyarah, maka ruang lingkup syarah hadis meliputi syarah yang bersifat eksplanatif dan syarah yang bersifat interprtatif.
Apabila diperhatikan kitab-kitab syarah yang diakui kesempurnaannya, seluruh teks syarah yang ditulis di dalamnya menjelaskan hal-hal sebagai berikut, 1) penjelasan mengenai nama para mudawwin yang meriwayatkan hadis tersebut dalam kitab mereka masing-masing (syarah dengan pendekatan takhrîj), karena pada hakikatnya mudawwin adalah seorang periwayat hadis yang besangkutan (râwi), 2) penjelasan mengenai variasi redaksi sanad dan matan hadis dalam berbagai kitab tersebut (syarah dengan pendekatan i`tibâr), 3) mengungkap latarbelakang kelahiran hadis (syarah dengan pendekatan sabab al-wurûd), 4) penjelasan tentang karakter para periwayatnya (syarah sanad dengan pendekatan ilmu rijâl al-hadîts), 5) penjelasan tentang cara baca dan struktur kalimat dari matan hadis (syarah dengan pendekatan nahwu dan sharaf), 6) penjelasan tentang makna kata-kata tertentu berdasarkan kamus (syarah mufradat), 7) penjelasan tentang makna matan secara harfiah dan petunjuk matan serta aplikasi pengembangannya (syarah dengan pendekatan ilmu dilâlah dan ushûl fiqh), maupun 8) penjelasan tentang perselisihan antara hadis yang bersangkutan dengan hadis lain atau Al-Quran serta alternatif penyelesaiannya (syarah dengan pendekatan ilmu ikhtilâf al-hadîts). Di antara syarah yang lengkap seperti ini adalah Nayl al-Awthâr karya Al-Syaukani syarah Muntaqâ al-Akhbâr karya Ibnu Taymiyah.
Kedelapan poin penjelasan dalam kitab Nayl al-Awthâr tersebut merupakan hasil pendekatan yang sedemikian variatif. Masing-masing poin tersebut berkaitan dengan cabang ilmu hadis tertentu dan ilmu-ilmu lain yang terkait. Maka dari itu kesempurnaan syarah hadis sangat ditentukan oleh pendekatan-pendekatan yang digunakan.
D. Syarah Hadis dan Pengajaran Hadis
Secara ilmiah fungsi syarah hadis adalah sebagai upaya menjembatani antara maksud Rasulullah Saw. dan daya tangkap umatnya, sehingga hadis dapat dipahami dengan lebih mudah dan terhindar dari kesalahan. Secara ideologis syarah berfungsi sebagai upaya menyampaikan amanah dan menghidup-hidupkan sunnah Rasulullah Saw., sehingga hadis tidak ditinggalkan umatnya. Sedangkan secara praktis syarah berfungsi sebagai upaya pengajaran dan penyebarluasan hadis di tengah-tengah masyarakat Muslim.
Apabila pengajaran Al-Quran dapat ditempuh dengan berbagai metode membaca Al-Quran, maka pengajaran dan penyebarluasan hadis di tengah-tengah masyarakat Muslim tidak dapat dilakukan dengan cara yang sama, melainkan harus melalui syarah, baik dalam proses pengajian, ceramah, maupun diskusi.
Sedemikian jelas dominanasi syarah hadis bagi upaya pengajaran dan penyebarluasan hadis Rasulullah Saw. Dengan demikian syarah hadis memiliki peran yang sangat dominan pula bagi sosialisasi kehujjahannya, karena ketentuan sunnah atau hadis yang tidak tersosialisasikan dan tidak dapat dipahami oleh umat tidak akan memiliki daya ikat yang mutlak terhadap masyarakat yang bersangkutan. Namun bukan berarti bahwa yang menentukan kehujjahan hadis itu adalah syarah, melainkan kehujjahan hadis itu tidak dapat mengenai sasarannya apabila masyarakat Muslim yang menjadi sasarannya itu tidak mengetahui keberadaannya, sedangkan syarah hadis merupakan sarana dan media sosialisasi hadis yang sangat strategis.
Dengan demikian syarah yang benar dan praktis merupakan suatu sarana pengajaran hadis yang benar dan praktis. Maka dari perumusan metodologi syarah merupakan upaya ilmiah yang sangat menentukan kebenaran dan kepraktisan upaya mensyarah hadis.
E. Penutup
Persoalan mensyarah hadis bukan persoalan yang sederhana, karena dari sisi moral seorang pensyarah menjelaskan ucapan dan tindakan Rasulullah Saw. yang belum jelas bagi kebanyakan masyarakat Muslim, sehingga ia bertenggungjawab di hadapan Allah dan Rasul-Nya. Dari sisi ilmiah seorang pensyarah adalah orang yang memenuhi kriteria untuk melakukan ijtihad, karena menggali kandungan hukum serta hikmah dari sebuah hadis berarti melakukan ijtihad bayâni. Oleh karena itu seseorang yang akan mensyarah hadis dituntut untuk melakukan persiapan, terutama penguasaan terhadap berbagai ilmu yang menjadi pijakan dalam mensyarah hadis. Ilmu-ilmu tersebut begitu terasa pentingnya ketika hadis-hadis yang akan disyarah berkaitan dengan disiplin ilmu tertentu.
Ketidaksederhanaan syarah hadis juga terlihat ketika seorang pensyarah dituntut untuk meneliti hadis yang akan disyarah, mengingat tidak semua hadis dapat diamalkan dan diajarkan begitu saja kepada masyarakat. Hadis palsu sama sekali tidak boleh diajarkan, kecuali dengan menjelaskan bahwa hadis yagn bersangkutan palsu. Hadis yang sangat lemah tidak dapat berdiri sendiri, sehingga tidak boleh diajarkan apabila tidak ada dalil pendukungnya yang dapat menjadi hujjah. Maka dari itu pensyarah yang tidak memiliki kapasitas dalam meneliti hadis hendaknya tidak memilih hadis-hadis yang belum diakui sebagai hadis yang  dapat diamalkan. Apabila ia meragukan sutau hadis atau bahkan mencurigainya sebagai hadis palsu, maka sebaiknya ia tidak mensyarahnya. Akan lebih baik apabila ia mau bertanya kepada orang yang lebih tahu.
Sangat disayangkan adanya sekelompok orang yang begitu apriori dan apatis terhadap hadis, karena mereka menganggap bahwa hadis merupakan sumber konflik. Tuduhan itu menurut mereka merupakan data empiris yang tidak dapat dibantah. Memang, para ulama –khususnya ulama fiqh- dulu berbeda pendapat hingga sedemikian ekstrim. Akan tetapi perbedaan pendapat di kalangan para pendiri madzhab pada abad kedua dan ketiga Hijriah itu sebenarnya tidak layak lagi diwarisi oleh generasi sekarang. Pada waktu itu salah satu latarbekangnya adalah tidak meratanya penyebaran hadis dan tidak samanya kriteria penilaian hadis. Ini artinya setelah hadis-hadis itu dibukukan dan ilmu-ilmu hadis dengan berbagai cabangnya telah dirumuskan dan telah disebarluaskan. Maka dengan tersedianya fasilitas tersebut perbedaan pendapat yang ekstrim tidak lagi layak terjadi. Lebih-lebih menuduh hadis sebagai biang keladinya konflik. Perlu diketahui bahwa kehadiran hadis itu bukan untuk dipilih lalu diperselisihkan, karena keberadaan hadis itu sebagai hujjah dalam arti mempunyai daya ikat yang absolut. Ketika seseorang menolak hadis “man kadzaba `alayya muta`ammidah falyatabawwa’ maq`adahu min al-nâr”, lalu ia membuat hadis palsu, maka tetap ancaman siksa neraka itu akan menimpa dirinya. Demikian juga hadis-hadis yang lain. Maka dari itu Al-Syafi`i pernah berpesan kepada Imam Ahmad, “Anda lebih tahu tentang hadis Rasulullah Saw. ketimbang aku, maka apabila ada hadis shahih (yang tidak kuketahui dan ternyata berbeda dengan hasil ijtihadku), maka hadis itulah madzhabku.”

Daftar Pustaka

Abadi, Muhammad Syamsul Haqq Al-`Azhim, `Awn al-Ma`bâd Syarh Sunan Abî Dâwûd, Al-Maktabah Al-Salafiyyah, 1979.
Abu Ghuddah, Abdul Fattah, Lamahât Min Târîikh al-Sunnah wa `Ulûm al-Hadîts, Al-Mathbû`ât al-Islâmiyyah, Beirut, 1984.
Andalusi, Muhammad bin Ahmd bin Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi Ibn Rusyd Al-, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Dar Ihya’ al-Kutub al-`Arabiyyah, Indonesia, t.t.
Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-, Fath al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Ri’asat Idarat al-Buhuts Al-`Ilmiyyah wa Al-Ifta’ wa Al-Da`wah, Saudi Arabia, t.t.
Asyqar, Muhammad Sulaiman Al-, Af`al al-Rasul Saw. wa Dilalatuha `ala al-Ahkam al-Syari`iyyah, Mu’assasah Al-Risalah, Beirut, 1991.
Banna, Ahmad Abdurrahman Al-, Bulûgh al-Amâni Min  Asrâr al-Fath al-Rabbâni li Tatîb Musnad al-Imam Ahmad bin hanbal Al-Syaibani, Dar Ihya’ al-Turâts al-`Arabi, Beirut, Lebanon,
Busti, Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad Al-Khaththabi Al-, Ma`alim al-Sunan Syarh Sunan Abi Dawud, Al-maktabah Al -`Ilmiyyah, Beirut, 1981.
Dahlawi, Syah Waliyyullah Al-, Al-Musawwa Syarh Al-Muwaththa’, Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, Beirut, 1983.
Dahlawi, Syah Waliyyullah bin Abdurrahim Al-, Hujatullâh al-Bâlighah, Syarh Syaikh Muhammad Syarif Sukkar, Beirut, Dar Ihya’ al-`Ulûm, 1990.
Dimyathi, Al-Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Al-Mishri Al-, Hasyiyat I`anat al-Thalibin `ala Hilli Alfazh Fath al-Mu`in bi Syarh Qurrat al-`Ain bi Muhimmat al-Din, Syirkat Al-Ma`arif li al-Thab` wa al-Nasyr, Bandung, Indonesia, t.t.
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2002.
Ghazali, Muhammad, Kritik Atas Hadis Nabi Saw., Mizan, Bandung, Cet. II Th. 1992.
Hasan Hanafi dan Muhammad Abil Al-Jâbiri, Hiwâr al-Masyriq wa al-Maghrib (Terj. Umar Bukhory, Membunuh Setan Dunia), IRCiSod, Yopgyakarta, 2003.
Hasyimi, Sayyid Al-Marhûm Ahmad Al-, Jawâhir al-Balâghah, fi al-Ma`âni wa al-Bayân wa al-Badî`, Maktabah Al-Tijariyyah al-Kubra, Mesir, 1960.
Howard, Roy J., Hermeneutika, Pengantar Teori-teori Pemahaman Kontemporer (Terj. Kuswana dan MS Nasrullah), Yayasan Nuansa Cendekia, Badung, 2000.
Ibn Qutaibah, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim, Ta’wîl Mukhtalif al-Hadîts, Dar al-Jil, Beirut, 1972.
Ibnu Hisyam, Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Mushthafa Al-Babi Al-Halabi wa Awlâduh, Mesir, 1955.
Idlibi, Shalahuddin bin Ahmad Al-, Manhaj Naqd al-Matn `inda `Ulamâ’ al-Hadîts al-Nabawi, Dar al-Afâq al-Jadîdah, Beirut, 1983.
Ilham B. Saerong, Hermeneutika Pembebasan, Metode Tafsir Al-Quran Menurut Hasan Hanafi, Penerbit Teraju, Bandung, 2002.
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2002.
Kandahlawi, Maulana Muhammad Zakariyya Al-, Aujaz al-Masalik, Dar al-Fikr, Beirut, 1989.
Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ushul al-Tafsîr wa Qawâ`iduhu, Dar al-Nafa’is, Beirut, 1986.
Khathib, M. Ajaj Al-, Ushûl al-Hadîts (Terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq), Gaya Media Pratama, Jakarta, 1998.
Khudhari, Muhammad Al-, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Cet. VII, 1981.
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta, Paramadina, 1996.
Mubarakfuri, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al-, Tuhfat al-Ahwadzi Syarh Jâmi` al-Turmudzi, Dar al-Fikr, t.t.
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah, Rajawali Press, Jakarta, 1999.
Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam Al-, Ittijâhât al-Tafsîr fi al-`Ashr al-Râhin (Terj. Moh. Maghfur Wachid, Visi dan Paradigma Rafsir Al-Quran Kontemporer), Penerbit Al-Izzah, Bangil, Jawa Timur, 1997.
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Dahlan, Indonesia, t.t.
Nasa’i, Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu`aib Al-, Sunan Al-Nasâ’i, Maktabah. Dahlan, bandung, 1991.
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhûm an-Nashsh Dirâsah fî `Ulûm al-Qur’ân (Terj. Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas Al-Quran, Kritik Terhadap Ulumul Quran), LkiS, Yogyakarta, 2001.
Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-, Al-Majmû` Syarh Al-Muhadzdzab, Mathba`at al-Imam, Mesir, tt.
Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-, Al-Minhâj fi Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjâj, Dar al-Fikr, t.t.
Nuruddin `Itr, Manhaj al-Naqd fî `Ulûm al-Hadîts, Dar al-Fikr, Syiria, 1979.
Qashimi, Abdullah bin Ali Al-Najdi Al-, Musykilât Al-Ahâdîts al-Al-Nabawiyyah, Dinamika Berkah Utama, Jakarta, 1985.
Qasthalani, Syihabuddin Ahmad bin Muhammad Al-, Irsyâd al-Sâri li Syarh Shahih Al-Bukhari, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
Shan`ani, Muhammad bin Isma`il al-Kahlani Al-, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillat al-Ahkâm, Maktabah Dahlan, Indonesia, t.t.
Siba`i, Mushthafa Husni Al-, Al-Sunnah wa Makânatuha fî al-Tasyrî` al-Islâmi (Terj. Dja`far Abd. Muchit, Al-Hadits Sebagai Sumber Hukum Serta Latarbelakang Historisnya),  cv. Diponegoro, Bandung, 1982.
Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman Al-, Tadrîb al-Râwi `ala Taqrîb al-Nawawi, Tahqiq Abdul Wahhab Abdul Lathif, Dar al-Kutub Al-Haditsah, Kairo, t.t.
Syairazi, Shadruddin Muhammad bin Ibrahim Al- (Mulla Shadra), Syarh Ushûl al-Kâfi, Mu’assasah Muthâla`ât wa Tahqîqât Frinky, Teheran, 1344.
Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-, Nayl al-Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar Tahqiq Shidqi Muhammad Jamil al-`Aththar, Dar al-Fikr, Lebanon, 1994.
Syaybani, Ahmad bin Hanbal Al-, Musnad Ahmad, Bait al-Afkar Al-Dauliyyah, Riyadh-Saudi Arabia, 1998.
Thahir, Lukman S, “Memahami Matan Hadits Lewat Pendekatan Hermenutik” dalam Hermeneia, Jurnal kajian Islam Interdisplinier Vol. 1 No.1 Jnuari-Juni 2002.
Zarqani, Muhammad Al-, Syarh al-Zarqâni `Alâ Muwaththa’ Mâlik, Dar al-Fikr, t.t.



[1] Makalah didiskusikan dalam diskusi reguler Puskaji IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, pada tanggal 6 Maret 2006
[2] Dosen Ilmu Hadis pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunang Gunung Djati Bandung
[3]  Kedua definisi berikut ini disusun berdasarkan relitas bahwa kitab-kitab syarah hadis ditulis untuk menjelaskan makna hadis kata demi kata, lalu menjelaskan makna hadis kalimat demi kalimat, dan akhirnya makna keseluruhan teks matan hadis, baik secara global maupun secara rinci dengan muatan ilmiah masing-masing. Tidak berhenti di sini, para penulis kitab syarah berusaha menyimpulkan petunjuk hukum maupun petunjuk yang lainnya dengan prinsip-prinsip istinbath yang berlaku.
[4] Mushthafa Ghalayaini dalam Jami` al-Durus al-`Arabiyyah (I: 9) menyebutkan bahwa ilmu-ilmu bahasa Arab ada tiga belas cabang, yaitu sharf, nahwu, rasam, ma`âni, bayân, badî`, `arûdh, qawâfî, syair, insya, khithâbah, târîkh al-adab, dan matn al-lughah.
[5] Hadis terakhir ini menurut muhaqqiq Bulûgh al-Marâm dinasakh oleh hadis berikutnya (Nomor 116) dari kitab yang sama, yakni dinasakh oleh hadis Muttafaq `alaih yang menyatakan bahwa persetubuhan itu mewajibkan mandi, meskipun tidak mengalami ejakulasi. Lihat Al-Hafizh Ibn Hajar Al-`Asqalani, Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Ahkâm, Penerbit Toha Putera, Semarang, t.t., Hlm. 112.
[6] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma`ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, Bulan Bintang, Jakarta, 1994, Hlm. 9 32.
[7] Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Dar Ihya al-Turâts al-`Arabi, t.t., I: 11.
[8] Lihat Kasyf al-Zhunûn, I: 36-37.

1 komentar:

  1. ASSALAMU'ALAIKUM,,,,, AYAH. SAYA MOHON COPI YAA. SUKRON JAZA KMLLAH KHRN SANGAT MEMBANTU

    BalasHapus