Jumat, 02 Maret 2012

Pengantar Metode Syarah Hadis



METODOLOGI SYARAH HADIS
MENUJU PEMBELAJARAN HADIS YANG BENAR DAN EFEKTIF[1]

Oleh: Drs. Mujiyo, M.Ag.[2]


A. Pendahuluan


Sering   kali istilah syarah bagi hadis diidentikkan dengan tafsir bagi Al-Quran. Dilihat dari fungsinya, hal itu dapat dibenarkan. Keberadaan syarah bagi hadis adalah untuk menjelaskan makna hadis dan mengeluarkan petunjuk hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Secara etimologi syarah dan tafsir tidak sama, karena konotasi yang dipahami secara umum dari kata syarah hanya menguraikan, dalam arti tidak disertai upaya kreatif dan produktif untuk mencari makna di luar petunjuk teks, atau hanya sebuah eksplanasi. Sementara konotasi terakhir ini telah melekat dalam kata tafsir. Akan tetapi kenyataannya kitab-kitab syarah hadis yang ada tidak semata-mata menguraikan makna hadis, melainkan juga menafsirkan dan menggali kandungan hukum serta hikmahnya. Dengan demikian secara praktis syarah dan tafsir tidak berbeda.
Syarah tidak hanya berupa uraian dan penjelasan terhadap suatu kitab secara keseluruhan, melainkan uraian dan penjelasan terhadap sebagian dari kitab, bahkan uraian terhadap satu kalimat atau suatu hadis, juga disebut dengan syarah. Maka dari itu apabila dikatakan syarah suatu kitab tertentu, seperti syarah Shahîh al-Bukhârî, syarah Alfiyyah Al-`Irâqî, dan syarah Qurrat al-`Ayn, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap kitab tersebut secara keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan “syarah hadis” secara mutlak, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap suatu hadis tertentu, yaitu ucapan, tindakan, atau ketetapan Rasulullah Saw. beserta sanadnya.
Di samping itu, syarah tidak harus secara tertulis atau berbentuk kitab dan karya tulis lainnya, melainkan bisa juga secara lisan. Oleh karena itu, karya tulis yang menguraikan dan menjelaskan makna dan maksud suatu hadis, seperti dalam makalah dan artikel, dapat disebut sebagai syarah. Demikian juga uraian dan penjelasan hadis secara lisan dalam proses belajar, pengajian, khutbah, ceramah, dan sejenisnya bisa juga disebut sebagai kegiatan mensyarah hadis.
Posisi hadis secara umum merupakan sumber ajaran Islam yang terpelihara dari kesalahan. Dengan demikian, syarah hadis berarti mensyarah sumber ajaran Islam yang salah satu tuntutannya adalah menggali hukum dan hikmah yang terdapat di dalamnya, sehingga dari sisi ini syarah hadis identik dengan tafsir Al-Quran, yaitu sama-sama menjelaskan dan mengungkap seluruh kandungan lafal yang dijelaskan, baik hukum maupun hikmah. Maka dari itu definisi syarah hadis adalah sebagai berikut,[3]
شَرْحُ الْحَدِيْثِ هُوَ بَيَانُ مَعَانِي الْحَدِيْثِ وَاسْتِخْرَاجُ فَوَائِدِهِ مِنْ حُكْمٍ وَحِكْمَةٍ
Syarah hadis adalah menjelaskan makna-makna hadis dan mengeluarkan seluruh kandungannya, baik hukum maupun hikmah.
Definisi ini hanya menyangkut syarah terhadap matan hadis, sedangkan definisi syarah yang mencakup semua komponen hadis itu, baik sanad maupun matannya, adalah sebagai berikut,
شَرْحُ الْحَدِيْثِ هُوَ بَيَانُ مَايَتَعَلَّقُ بِالْحَدِيْثِ مَتْنًاوَسَنَدًا مِنْ صِحَّةٍ وَعِلَّةٍ وَبَيَانُ مَعَانِيْهِ وَاسْتِخْرَاجُ اَحْكَامِهِ وَحِكَمِهِ.
Syarah hadis adalah menjelaskan keshahihan dan kecacatan sanad dan matan hadis, menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Dengan definisi di atas, maka kegiatan syarah hadis secara garis besar meliputi tiga langkah, sebagai berikut,
1. Menjelaskan kuantitas dan kualitas hadis, baik dari sisi sanad maupun dari sisi matan, dan baik global maupun rinci. Hal ini meliputi penjelasan tentang jalur-jalur periwayatannya, penjelasan identitas dan karakteristik para priwayatnya, serta analisis matan dari sisi kaidah-kaidah kebahasaan.
2. Menguraikan makna dan maksud hadis. Hal ini meliputi penjelasan cara baca lafal-lafal tertentu, penjelasan struktur kalimat, penjelasan makna leksikal dan gramatikal serta makna yang dimaksudkan.
3. Mengungkap hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Hal ini meliputi istinbath terhadap hukum dan hikmah yang terkandung dalam matan hadis, baik yang tersurat maupun yang tersirat.
B. Latarbelakang Perlunya Syarah Hadis
Kegiatan mensyarah hadis secara praktis telah dimulai sejak zaman Rasulullah Saw. Hal ini terbukti dengan seringnya Rasulullah Saw. memberikan penjelasan terhadap sabda dan tindakannya sendiri sehubungan dengan pertanyaan sebagian sahabat yang ingin mengetahui lebih lanjut maksud dan makna di balik itu. Di antara faktor penyebab munculnya pertanyaan tersebut adalah karena pengetahuan dan pemahaman para sahabat terhadap hadis Rasulullah Saw. tidak sama, baik karena perbedaan kecerdasan mereka atau karena perbedaan kesempatan mereka menyertai beliau.
Di samping mereka bertanya kepada Rasulullah Saw, sebagian mereka juga sering bertanya kepada sebagian yang lain, sehingga para sahabat senior senantiasa menjadi tumpuan pertanyaan para sahabat yang lebih muda dan para tabi`in.
Contoh-contoh bagi kedua kasus tersebut bertebaran sangat banyak dalam berbagai kitab hadis, di antaranya adalah penjelasan Rasulullah Saw. tentang ucapan beliau sendiri setelah mendapatkan pertanyaan para sababat adalah hadis tentang tujuh dosa besar yang menghancurkan iman, sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Hurairah. Contoh pertanyaan antar para sahabat adalah hadis-hadis tentang tata-cara mandi janabah dan hukum bersetubuh yang tidak terjadi ejakulasi. Kasus yang terakhir ini dapat dilihat dalam Musnad Ahmad hadis nomor 20182.
Bila para sahabat memerlukan penjelasan tentang ucapan Rasulullah Saw. yang mereka dengar atau tindakan yang mereka lihat secara langsung, maka generasi berikutnya dapat dipastikan lebih memerlukan lagi. Lebih-lebih umat Islam yang bukan dari kalangan bangsa Arab dan secara umum tidak mampu memahami bahasa Arab yang digunakan oleh Rasulullah Saw. dengan baik seperti kemampuan yang digambarkan oleh kemampuan para sahabat itu. Penekanan agar semua umat ini memahami bahasa Arab dengan baik bukanlah penekanan yang bijaksana. Maka dari itu syarah hadis merupakan sesuatu yang sangat perlu dilakukan, sebagaimana halnya tafsir Al-Quran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latarbelakang perlunya syarah hadis ada empat faktor, yaitu:
a. Karakter kalimat yang digunakan dalam sabda Rasulullah Saw. dalam banyak hal sangat mirip dengan karakter kalimat dalam firman Allah Swt. Firman Allah dalam Al-Quran dan sabda Rasulullah dalam sunnahnya merupakan standar bagi ilmu-ilmu bahasa Arab, yaitu nahwu, sharaf, balâghah, dan lainnya.[4] Maka dari itu sabda beliau sering mengandung kata yang majâz, mutlak, mujmal, dan sebagainya. Kata yang demikian tidak senantiasa mudah dipaham, termasuk oleh para sahabat. Karakter lainnya adalah simpel dan sering menggunakan dialek yang kadang-kadang disesuaikan dengan khalayak yang mendengarnya secara langsung, dan bukan dialek Quraisy.
 Di samping itu, tidak jarang pula beliau menggunakan kalimat yang sangat sarat dengan makna yang sering disebut dengan jâmi`al-kalim, seperti kata-kata “Al-harb khud`ah” (perang itu penuh dengan siasat/tipudaya), juga hadis “Al-mâ’u min al-mâ’” (Kewajiban mandi dengan air itu tidak lain karena ejakulasi). (HR Muslim).[5]
M. Syuhudi Isma`il menambahkan bentuk matan yang lain –berdasarkan karakter redaksinya- selain jâmi`al-kalim, yaitu bahasa tamsil, ungkapan simbolik, bahasa percakapan, dan ungkapan analogi.[6] Matan hadis dengan sejumlah karakternya tentu tidak dapat dipaham secara benar dengan pendekatan yang sama, yakni hanya dengan pendekatan terhadap redaksi kalimat yang standar.
b. Tindakan Rasulullah Saw. yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang dan tidak senantiasa berkaitan dengan petunjuk wahyu. Para sahabat meriwayatkan tindakan beliau sesuai dengan hasil pengamatan dan pemahamannya masing-masing. Sehubungan dengan itu perlu dilakukan klasifikasi yang benar terhadap tindakan Rasulullah Saw. agar mudah diketahui tindakan mana yang mutlak harus diikuti, tindakan mana yang boleh atau sebaiknya diikuti, dan tindakan mana yang tidak boleh diikuti.
c. Hadis merupakan sumber ajaran agama Islam. Oleh karena itu, pada umumnya hadis berisi ketentuan pokok pada setiap permasalahan. Kalaupun mencakup rincian dari suatu permasalahan, namun pada umumnya rinciannya itu terikat oleh waktu, situasi, dan lingkungan. Di samping itu kelahiran hadis terjadi sejak Rasulullah Saw. diangkat menjadi rasul hingga beliau wafat. Selama itu hadis telah melalui berbagai kondisi yang berkembang sesuai dengan perkembangan kadar keimanan dan pengetahuan para sahabat secara umum serta perkembangan sektor lain, sehingga tidak menutup kemungkinan ketentuan hukum suatu kasus juga mengalami perkembangan dan menimbulkan nasikh dan mansukh.
Di samping itu dengan wafatnya Rasulullah Saw. dapat dipastikan banyak persoalan baru yang muncul tidak tersentuh oleh hadis, kecuali apabila hadis dikaji secara kontekstual dengan memperhatikan berbagai perkembangan yang terjadi dan persoalan makro yang dihadapi umat Muslim. Sementara itu hadis berlaku secara universal, mengikat semua lapisan masyarakat Muslim, kecuali apabila padanya terdapat indikasi takhshîsh. Sehubungan dengan itu semua, hadis memerlukan penjelasan yang tepat agar dapat diterima dengan penuh kesiagaan.
Keberadaan hadis sebagai sumber ajaran agama Islam tidak akan dapat digeser, meskipun ia hanya merupakan sebagian dari catatan sejarah perjalanan hidup Rasulullah Saw. Sehubungan dengan itu Allah Swt. menegaskan bahwa apapun yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. kepada umatnya, mereka wajib menerimanya, dan apapun yang beliau larang, mereka wajib menjauhinya (QS Al-Hasyr: 7). Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah, maka untuk membuktikannya ia harus mengikuti contoh dari Rasulullah Saw., sehingga ia akan memperoleh cinta-Nya dan akan mendapatkan ampunan-Nya (QS Ali Imran: 31).
Penjelasan (bayân) Rasulullah Saw. terhadap Al-Quran, baik dengan ucapan maupun dengan tindakan, merupakan batasan nilai bagi para peminat kajian dan penafsiran Al-Quran, meskipun Al-Quran bersifat terbuka untuk dipahami dan ditafsirkan dengan berbagai metode pemahaman dan penafsiran, sehingga pemahaman dan interpretasi terhadapnya dapat senantiasa berkembang dan aktualitas Al-Quran menjadi semakin nyata. Para pemikir kontemporer mensinyalir bahwa boleh jadi penafsiran Rasulullah tentang suatu ayat bukan lagi merupakan penafsiran yang terbaik dan paling benar apabila dikaitkan dengan perkembangan umat manusia dengan segala permasalahannya dewasa ini. Pemahaman dan penafsiran Al-Quran yang melampaui materi keterangan Rasulullah Saw. dewasa ini merupakan hal yang logis, karena problematika hidup beragama semakin kompleks, namun hendaknya tidak melampaui nilai-nilai yang terkandung dalam keterangan beliau.
d. Umat Islam diwajibkan untuk berpegang kepada sunnah Rasulullah Saw. dalam ketentuan akidah, ibadah, dan pelaksanaan kegiatan ritual keagamaan serta kegiatan sosial. QS Al-Nisa’: 59 menegaskan bahwa seluruh orang Mukmin wajib taat kepada Allah dan rasul-Nya, serta ulil amr. Ketaatan kepada Allah dan kepada Rasulullah Saw. merupakan satu paket, sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Nisa: 13, 69, 80, QS Al-Nur: 52, dan QS Al-Fath: 17. Namun kondisi umat Islam pada umumnya tidak mampu memahami sunnah atau hadis secara langsung, karena untuk memahami hadis secara langsung itu dibutuhkan sejumlah ilmu pendukung, baik ilmu dirâyah maupun imu riwâyah hadis. Untuk memahami hadis dengan baik tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab, termasuk dengan berpegang kepada terjemahan hadis secara harfiah.
Ibnu Mas`ud menyatakan bahwa meriwayatkan hadis kepada masyarakat yang tidak dapat memahaminya dengan benar justru akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka, sebagaimana diriwayatkan Muslim.
اِنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَالَ مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً /رواه مسلم/[7]
Sesungguhnya Abdullah bin Mas`ud berkata, “Setiap kamu menyampaikan suatu hadis kepada suatu kaum yang mereka tidak dapat memahaminya pastilah hadis itu akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.” (HR Muslim).
Pernyataan Ibnu Mas`ud di atas menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan hadis kepada kaumnya hendaknya berusaha untuk memberikan pemahaman kepada mereka dengan uraian seperlunya. Hal ini menunjukkan bahwa akibat lebih lanjut dari fitnah yang terjadi karena periwayatan hadis yang kurang jelas tidak hanya merupakan kesalahan kaum yang tidak mampu memahami hadis tersebut, melainkan juga merupakan kesalahan orang yang meriwayatkannya karena tidak menyertainya dengan keterangan yang mereka perlukan.
Selain itu ada faktor lain yang melatarbelakangi perlunya syarah hadis dalam bentuk yang lebih praktis, yakni latarbelakang penulisan kitab-kitab syatah hadis, dan hal ini sangat bervariasi dan bergantung kepada kepekaan penulis kitab syarah yang bersangkutan. Adakalanya suatu kitab syarah ditulis semata-mata untuk menjembatani antara Rasulullah Saw. dengan umatnya, adakalanya karena permintaan pihak lain, dan adakalanya untuk kepentingan madzhab. Motiv-motiv penulisan kitab syarah itu dapat diketahui melalui kata pengantar dan mukaddimah masing-masing kitab syarah itu.
Sehubungan dengan penulisan kitab-kitab syarah secara umum Haji Khalifah dalam Kasyf al-Zhunûn[8] mengemukakan tiga alasan yang melatarbelakanginya, yaitu: Pertama, redaksi dan makna dalam kitab matan menggunakan uslub yang sangat simpel dan sarat dengan makna yang mendetail. Sehubungan dengan alasan ini kadang-kadang seorang penulis kitab membuat sendiri syarah kitab tersebut, seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani mensyarah sendiri kitab Nukhbat al-Fikr dengan judul Nuz-hat al-Nazhar fî Tawdhîh Nukhbat al-Fikr. Kedua, membebaskan kitab matan dari muatan-muatan logika yang sudah sangat jelas atau yang diadopsi dari disiplin ilmu lain dengan menjelaskan irrelevansi-nya dan menggantikannya dengan logika lain yang lebih relevan dengan tema bahasan. Ketiga, adanya peluang bagi sejumlah penafsiran dan ta’wîl terhadap redaksi kitab matan. Sehubungan dengan alasan ini pensyarah perlu menjelaskan maksud semula penulis kitab matan yang bersangkutan.

C. Ruang Lingkup dan Pendekatan Syarah
Dilihat dari segi komponen hadis yang perlu dijelaskan, maka ruang lingkup syarah hadis meliputi syarah terhadap sanad hadis dan syarah terhadap matan hadis. Dilihat dari segi informasi yang perlu dikemukakan dari suatu hadis, maka ruang lingkup syarah hadis meliputi penjelasan tentang kualitas dan kuantitas hadis, penjelasan tentang lingkup kehujjahan hadis, dan penjelasan tentang petunjuk serta kandungan hadis. Dilihat dari segi karakter hadis dan kewenangan pensyarah, maka ruang lingkup syarah hadis meliputi syarah yang bersifat eksplanatif dan syarah yang bersifat interprtatif.
Apabila diperhatikan kitab-kitab syarah yang diakui kesempurnaannya, seluruh teks syarah yang ditulis di dalamnya menjelaskan hal-hal sebagai berikut, 1) penjelasan mengenai nama para mudawwin yang meriwayatkan hadis tersebut dalam kitab mereka masing-masing (syarah dengan pendekatan takhrîj), karena pada hakikatnya mudawwin adalah seorang periwayat hadis yang besangkutan (râwi), 2) penjelasan mengenai variasi redaksi sanad dan matan hadis dalam berbagai kitab tersebut (syarah dengan pendekatan i`tibâr), 3) mengungkap latarbelakang kelahiran hadis (syarah dengan pendekatan sabab al-wurûd), 4) penjelasan tentang karakter para periwayatnya (syarah sanad dengan pendekatan ilmu rijâl al-hadîts), 5) penjelasan tentang cara baca dan struktur kalimat dari matan hadis (syarah dengan pendekatan nahwu dan sharaf), 6) penjelasan tentang makna kata-kata tertentu berdasarkan kamus (syarah mufradat), 7) penjelasan tentang makna matan secara harfiah dan petunjuk matan serta aplikasi pengembangannya (syarah dengan pendekatan ilmu dilâlah dan ushûl fiqh), maupun 8) penjelasan tentang perselisihan antara hadis yang bersangkutan dengan hadis lain atau Al-Quran serta alternatif penyelesaiannya (syarah dengan pendekatan ilmu ikhtilâf al-hadîts). Di antara syarah yang lengkap seperti ini adalah Nayl al-Awthâr karya Al-Syaukani syarah Muntaqâ al-Akhbâr karya Ibnu Taymiyah.
Kedelapan poin penjelasan dalam kitab Nayl al-Awthâr tersebut merupakan hasil pendekatan yang sedemikian variatif. Masing-masing poin tersebut berkaitan dengan cabang ilmu hadis tertentu dan ilmu-ilmu lain yang terkait. Maka dari itu kesempurnaan syarah hadis sangat ditentukan oleh pendekatan-pendekatan yang digunakan.
D. Syarah Hadis dan Pengajaran Hadis
Secara ilmiah fungsi syarah hadis adalah sebagai upaya menjembatani antara maksud Rasulullah Saw. dan daya tangkap umatnya, sehingga hadis dapat dipahami dengan lebih mudah dan terhindar dari kesalahan. Secara ideologis syarah berfungsi sebagai upaya menyampaikan amanah dan menghidup-hidupkan sunnah Rasulullah Saw., sehingga hadis tidak ditinggalkan umatnya. Sedangkan secara praktis syarah berfungsi sebagai upaya pengajaran dan penyebarluasan hadis di tengah-tengah masyarakat Muslim.
Apabila pengajaran Al-Quran dapat ditempuh dengan berbagai metode membaca Al-Quran, maka pengajaran dan penyebarluasan hadis di tengah-tengah masyarakat Muslim tidak dapat dilakukan dengan cara yang sama, melainkan harus melalui syarah, baik dalam proses pengajian, ceramah, maupun diskusi.
Sedemikian jelas dominanasi syarah hadis bagi upaya pengajaran dan penyebarluasan hadis Rasulullah Saw. Dengan demikian syarah hadis memiliki peran yang sangat dominan pula bagi sosialisasi kehujjahannya, karena ketentuan sunnah atau hadis yang tidak tersosialisasikan dan tidak dapat dipahami oleh umat tidak akan memiliki daya ikat yang mutlak terhadap masyarakat yang bersangkutan. Namun bukan berarti bahwa yang menentukan kehujjahan hadis itu adalah syarah, melainkan kehujjahan hadis itu tidak dapat mengenai sasarannya apabila masyarakat Muslim yang menjadi sasarannya itu tidak mengetahui keberadaannya, sedangkan syarah hadis merupakan sarana dan media sosialisasi hadis yang sangat strategis.
Dengan demikian syarah yang benar dan praktis merupakan suatu sarana pengajaran hadis yang benar dan praktis. Maka dari perumusan metodologi syarah merupakan upaya ilmiah yang sangat menentukan kebenaran dan kepraktisan upaya mensyarah hadis.
E. Penutup
Persoalan mensyarah hadis bukan persoalan yang sederhana, karena dari sisi moral seorang pensyarah menjelaskan ucapan dan tindakan Rasulullah Saw. yang belum jelas bagi kebanyakan masyarakat Muslim, sehingga ia bertenggungjawab di hadapan Allah dan Rasul-Nya. Dari sisi ilmiah seorang pensyarah adalah orang yang memenuhi kriteria untuk melakukan ijtihad, karena menggali kandungan hukum serta hikmah dari sebuah hadis berarti melakukan ijtihad bayâni. Oleh karena itu seseorang yang akan mensyarah hadis dituntut untuk melakukan persiapan, terutama penguasaan terhadap berbagai ilmu yang menjadi pijakan dalam mensyarah hadis. Ilmu-ilmu tersebut begitu terasa pentingnya ketika hadis-hadis yang akan disyarah berkaitan dengan disiplin ilmu tertentu.
Ketidaksederhanaan syarah hadis juga terlihat ketika seorang pensyarah dituntut untuk meneliti hadis yang akan disyarah, mengingat tidak semua hadis dapat diamalkan dan diajarkan begitu saja kepada masyarakat. Hadis palsu sama sekali tidak boleh diajarkan, kecuali dengan menjelaskan bahwa hadis yagn bersangkutan palsu. Hadis yang sangat lemah tidak dapat berdiri sendiri, sehingga tidak boleh diajarkan apabila tidak ada dalil pendukungnya yang dapat menjadi hujjah. Maka dari itu pensyarah yang tidak memiliki kapasitas dalam meneliti hadis hendaknya tidak memilih hadis-hadis yang belum diakui sebagai hadis yang  dapat diamalkan. Apabila ia meragukan sutau hadis atau bahkan mencurigainya sebagai hadis palsu, maka sebaiknya ia tidak mensyarahnya. Akan lebih baik apabila ia mau bertanya kepada orang yang lebih tahu.
Sangat disayangkan adanya sekelompok orang yang begitu apriori dan apatis terhadap hadis, karena mereka menganggap bahwa hadis merupakan sumber konflik. Tuduhan itu menurut mereka merupakan data empiris yang tidak dapat dibantah. Memang, para ulama –khususnya ulama fiqh- dulu berbeda pendapat hingga sedemikian ekstrim. Akan tetapi perbedaan pendapat di kalangan para pendiri madzhab pada abad kedua dan ketiga Hijriah itu sebenarnya tidak layak lagi diwarisi oleh generasi sekarang. Pada waktu itu salah satu latarbekangnya adalah tidak meratanya penyebaran hadis dan tidak samanya kriteria penilaian hadis. Ini artinya setelah hadis-hadis itu dibukukan dan ilmu-ilmu hadis dengan berbagai cabangnya telah dirumuskan dan telah disebarluaskan. Maka dengan tersedianya fasilitas tersebut perbedaan pendapat yang ekstrim tidak lagi layak terjadi. Lebih-lebih menuduh hadis sebagai biang keladinya konflik. Perlu diketahui bahwa kehadiran hadis itu bukan untuk dipilih lalu diperselisihkan, karena keberadaan hadis itu sebagai hujjah dalam arti mempunyai daya ikat yang absolut. Ketika seseorang menolak hadis “man kadzaba `alayya muta`ammidah falyatabawwa’ maq`adahu min al-nâr”, lalu ia membuat hadis palsu, maka tetap ancaman siksa neraka itu akan menimpa dirinya. Demikian juga hadis-hadis yang lain. Maka dari itu Al-Syafi`i pernah berpesan kepada Imam Ahmad, “Anda lebih tahu tentang hadis Rasulullah Saw. ketimbang aku, maka apabila ada hadis shahih (yang tidak kuketahui dan ternyata berbeda dengan hasil ijtihadku), maka hadis itulah madzhabku.”

Daftar Pustaka

Abadi, Muhammad Syamsul Haqq Al-`Azhim, `Awn al-Ma`bâd Syarh Sunan Abî Dâwûd, Al-Maktabah Al-Salafiyyah, 1979.
Abu Ghuddah, Abdul Fattah, Lamahât Min Târîikh al-Sunnah wa `Ulûm al-Hadîts, Al-Mathbû`ât al-Islâmiyyah, Beirut, 1984.
Andalusi, Muhammad bin Ahmd bin Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi Ibn Rusyd Al-, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Dar Ihya’ al-Kutub al-`Arabiyyah, Indonesia, t.t.
Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-, Fath al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Ri’asat Idarat al-Buhuts Al-`Ilmiyyah wa Al-Ifta’ wa Al-Da`wah, Saudi Arabia, t.t.
Asyqar, Muhammad Sulaiman Al-, Af`al al-Rasul Saw. wa Dilalatuha `ala al-Ahkam al-Syari`iyyah, Mu’assasah Al-Risalah, Beirut, 1991.
Banna, Ahmad Abdurrahman Al-, Bulûgh al-Amâni Min  Asrâr al-Fath al-Rabbâni li Tatîb Musnad al-Imam Ahmad bin hanbal Al-Syaibani, Dar Ihya’ al-Turâts al-`Arabi, Beirut, Lebanon,
Busti, Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad Al-Khaththabi Al-, Ma`alim al-Sunan Syarh Sunan Abi Dawud, Al-maktabah Al -`Ilmiyyah, Beirut, 1981.
Dahlawi, Syah Waliyyullah Al-, Al-Musawwa Syarh Al-Muwaththa’, Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, Beirut, 1983.
Dahlawi, Syah Waliyyullah bin Abdurrahim Al-, Hujatullâh al-Bâlighah, Syarh Syaikh Muhammad Syarif Sukkar, Beirut, Dar Ihya’ al-`Ulûm, 1990.
Dimyathi, Al-Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Al-Mishri Al-, Hasyiyat I`anat al-Thalibin `ala Hilli Alfazh Fath al-Mu`in bi Syarh Qurrat al-`Ain bi Muhimmat al-Din, Syirkat Al-Ma`arif li al-Thab` wa al-Nasyr, Bandung, Indonesia, t.t.
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2002.
Ghazali, Muhammad, Kritik Atas Hadis Nabi Saw., Mizan, Bandung, Cet. II Th. 1992.
Hasan Hanafi dan Muhammad Abil Al-Jâbiri, Hiwâr al-Masyriq wa al-Maghrib (Terj. Umar Bukhory, Membunuh Setan Dunia), IRCiSod, Yopgyakarta, 2003.
Hasyimi, Sayyid Al-Marhûm Ahmad Al-, Jawâhir al-Balâghah, fi al-Ma`âni wa al-Bayân wa al-Badî`, Maktabah Al-Tijariyyah al-Kubra, Mesir, 1960.
Howard, Roy J., Hermeneutika, Pengantar Teori-teori Pemahaman Kontemporer (Terj. Kuswana dan MS Nasrullah), Yayasan Nuansa Cendekia, Badung, 2000.
Ibn Qutaibah, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim, Ta’wîl Mukhtalif al-Hadîts, Dar al-Jil, Beirut, 1972.
Ibnu Hisyam, Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Mushthafa Al-Babi Al-Halabi wa Awlâduh, Mesir, 1955.
Idlibi, Shalahuddin bin Ahmad Al-, Manhaj Naqd al-Matn `inda `Ulamâ’ al-Hadîts al-Nabawi, Dar al-Afâq al-Jadîdah, Beirut, 1983.
Ilham B. Saerong, Hermeneutika Pembebasan, Metode Tafsir Al-Quran Menurut Hasan Hanafi, Penerbit Teraju, Bandung, 2002.
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2002.
Kandahlawi, Maulana Muhammad Zakariyya Al-, Aujaz al-Masalik, Dar al-Fikr, Beirut, 1989.
Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ushul al-Tafsîr wa Qawâ`iduhu, Dar al-Nafa’is, Beirut, 1986.
Khathib, M. Ajaj Al-, Ushûl al-Hadîts (Terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq), Gaya Media Pratama, Jakarta, 1998.
Khudhari, Muhammad Al-, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Cet. VII, 1981.
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta, Paramadina, 1996.
Mubarakfuri, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al-, Tuhfat al-Ahwadzi Syarh Jâmi` al-Turmudzi, Dar al-Fikr, t.t.
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah, Rajawali Press, Jakarta, 1999.
Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam Al-, Ittijâhât al-Tafsîr fi al-`Ashr al-Râhin (Terj. Moh. Maghfur Wachid, Visi dan Paradigma Rafsir Al-Quran Kontemporer), Penerbit Al-Izzah, Bangil, Jawa Timur, 1997.
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Dahlan, Indonesia, t.t.
Nasa’i, Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu`aib Al-, Sunan Al-Nasâ’i, Maktabah. Dahlan, bandung, 1991.
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhûm an-Nashsh Dirâsah fî `Ulûm al-Qur’ân (Terj. Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas Al-Quran, Kritik Terhadap Ulumul Quran), LkiS, Yogyakarta, 2001.
Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-, Al-Majmû` Syarh Al-Muhadzdzab, Mathba`at al-Imam, Mesir, tt.
Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-, Al-Minhâj fi Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjâj, Dar al-Fikr, t.t.
Nuruddin `Itr, Manhaj al-Naqd fî `Ulûm al-Hadîts, Dar al-Fikr, Syiria, 1979.
Qashimi, Abdullah bin Ali Al-Najdi Al-, Musykilât Al-Ahâdîts al-Al-Nabawiyyah, Dinamika Berkah Utama, Jakarta, 1985.
Qasthalani, Syihabuddin Ahmad bin Muhammad Al-, Irsyâd al-Sâri li Syarh Shahih Al-Bukhari, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
Shan`ani, Muhammad bin Isma`il al-Kahlani Al-, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillat al-Ahkâm, Maktabah Dahlan, Indonesia, t.t.
Siba`i, Mushthafa Husni Al-, Al-Sunnah wa Makânatuha fî al-Tasyrî` al-Islâmi (Terj. Dja`far Abd. Muchit, Al-Hadits Sebagai Sumber Hukum Serta Latarbelakang Historisnya),  cv. Diponegoro, Bandung, 1982.
Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman Al-, Tadrîb al-Râwi `ala Taqrîb al-Nawawi, Tahqiq Abdul Wahhab Abdul Lathif, Dar al-Kutub Al-Haditsah, Kairo, t.t.
Syairazi, Shadruddin Muhammad bin Ibrahim Al- (Mulla Shadra), Syarh Ushûl al-Kâfi, Mu’assasah Muthâla`ât wa Tahqîqât Frinky, Teheran, 1344.
Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-, Nayl al-Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar Tahqiq Shidqi Muhammad Jamil al-`Aththar, Dar al-Fikr, Lebanon, 1994.
Syaybani, Ahmad bin Hanbal Al-, Musnad Ahmad, Bait al-Afkar Al-Dauliyyah, Riyadh-Saudi Arabia, 1998.
Thahir, Lukman S, “Memahami Matan Hadits Lewat Pendekatan Hermenutik” dalam Hermeneia, Jurnal kajian Islam Interdisplinier Vol. 1 No.1 Jnuari-Juni 2002.
Zarqani, Muhammad Al-, Syarh al-Zarqâni `Alâ Muwaththa’ Mâlik, Dar al-Fikr, t.t.



[1] Makalah didiskusikan dalam diskusi reguler Puskaji IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, pada tanggal 6 Maret 2006
[2] Dosen Ilmu Hadis pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunang Gunung Djati Bandung
[3]  Kedua definisi berikut ini disusun berdasarkan relitas bahwa kitab-kitab syarah hadis ditulis untuk menjelaskan makna hadis kata demi kata, lalu menjelaskan makna hadis kalimat demi kalimat, dan akhirnya makna keseluruhan teks matan hadis, baik secara global maupun secara rinci dengan muatan ilmiah masing-masing. Tidak berhenti di sini, para penulis kitab syarah berusaha menyimpulkan petunjuk hukum maupun petunjuk yang lainnya dengan prinsip-prinsip istinbath yang berlaku.
[4] Mushthafa Ghalayaini dalam Jami` al-Durus al-`Arabiyyah (I: 9) menyebutkan bahwa ilmu-ilmu bahasa Arab ada tiga belas cabang, yaitu sharf, nahwu, rasam, ma`âni, bayân, badî`, `arûdh, qawâfî, syair, insya, khithâbah, târîkh al-adab, dan matn al-lughah.
[5] Hadis terakhir ini menurut muhaqqiq Bulûgh al-Marâm dinasakh oleh hadis berikutnya (Nomor 116) dari kitab yang sama, yakni dinasakh oleh hadis Muttafaq `alaih yang menyatakan bahwa persetubuhan itu mewajibkan mandi, meskipun tidak mengalami ejakulasi. Lihat Al-Hafizh Ibn Hajar Al-`Asqalani, Bulûgh al-Marâm min Adillati al-Ahkâm, Penerbit Toha Putera, Semarang, t.t., Hlm. 112.
[6] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma`ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, Bulan Bintang, Jakarta, 1994, Hlm. 9 32.
[7] Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Dar Ihya al-Turâts al-`Arabi, t.t., I: 11.
[8] Lihat Kasyf al-Zhunûn, I: 36-37.

KONSEP QATH`IY DAN ZHANNIY AL-DILALAH DALAM MEMAHAMI AL-QURAN DAN HADIS



KONSEP QATH`IY DAN ZHANNIY
SERTA IMPLIKASINYA DALAM MEMAHAMI AL-QURAN
A. Pendahuluan
Redaksi Al-Quran dalam wujudnya sekarang adalah rangkaian kalimat-kalimat yang terbentuk dari rangkaian kata-kata yang menyimpan sejumlah makna. Maka, untuk memahami makna suatu ayat mutlak harus melalui analisis terhadap redaksinya secara seksama, kata demi kata. Dalam kajian ilmu dilâlah (semantik), makna suatu kata atau kalimat (dalam istilah sehari-hari) dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu maksud pembicara, makna kata atau kalimat yang terucap, dan informasi obyektif dari apa yang dibicarakan. Dalam pada itu, ada kalanya maksud pembicara benar-benar sesuai dengan makna redaksi kalimat yang digunakan, tidak kurang dan tidak lebih. Namun ada kalanya maksud tersebut tidak sesuai dengan makna redaksi kalimat yang digunakan, melainkan hanya tersirat di dalamnya. Lalu dari kedua jenis makna tersebut tersimpul makna umum sebagai informasi obyektif yang selanjutnya dapat dijadikan pedoman bagi pengembangan dan kontekstualisasinya.[1]
Dalam kajian ilmu dilâlah, lafal dapat dibagi menjadi dua, yaitu lafal yang jelas petunjuknya (wâdhih al-dilâlah) dan lafal yang tidak jelas petunjuknya (ghayr wâdhih al-dilâlah). Lafal yang jelas dilâlah-nya adalah lafal yang petunjuknya dapat dipahami tanpa memerlukan qarinah (indikasi) dari luar lafal. Sedangkan lafal yang tidak jelas dilâlah-nya adalah lafal yang petunjuknya tidak dapat dipahami kecuali dengan mendatangkan qarinah (indikasi) dari luar lafal. Semuanya berangkat dari pemahaman yang sederhana, yaitu pemahaman yang dapat diambil dengan cepat ketika lafal itu diucapkan. Selanjutnya masing-masing dari kedua jenis lafal tersebut terbagi menjadi empat tingkat yang saling berlawanan. Lafal yang jelas petunjuknya terbagi menjadi zhâhir, nashsh, mufassar, dan muhkam. Sedangkan lafal yang tidak jelas petunjuknya terbagi menjadi khafiy, musykil, mujmal, dan mutasyâbih. Urutan penyebutan ini menunjukkan urutan tingkat kejelasan dan ketidakjelasannya. Muhkam merupakan lafal yang paling jelas petunjuknya, lawannya adalah mutasyâbih yang merupakan lafal yang paling tidak jelas petunjuknya. Tingkatan berikutnya mufassar berlawanan dengan mujmal. Tingkatan berikutnya nashsh yang berlawanan dengan musykil. Dan tingkatan terakhir zhâhir yang merupakan lafal terendah dari kelompok lafal yang wâdhih al-dilâlah berlawanan dengan khafiy yang merupakan lafal paling jelas petunjuknya dari kelompok lafal yang ghayr wâdhih al-dilâlah.
Dari sinilah pembahasan qath`iy dan zhanniy berangkat. Secara umum semua lafal yang termasuk dalam katagori ghayr wâdhih al-dilâlah mengandung petunjuk yang zhanniy, sementara itu tidak semua lafal yang termasuk dalam katagori wâdhih al-dilâlah mengandung petunjuk yang qath`iy. Lafal yang dimaksud terakhir adalah lafaz zhâhir dan lafal nashsh, meskipun kemungkinan takhshish dan ta’wîl pada lafal nashsh lebih kecil. Sehingga lafal yang nashsh suatu saat mengandung makna qath`iy dan pada saat yang lain mengandung makna yang zhanniy. Sedangkan lafal yang mufassar dan lafal yang muhkam menunjukkan makna yang qath`iy. Untuk mengetahui lebih lanjut kriteria lafal yang qath`iy dan yang zhanniy, maka berikut ini akan dibahas secara ringkas karakter kedelapan lafal tersebut, selanjutnya akan dibahas pula bagaimana mengambil dilâlah lafal dengan karakter masing-masing.
B. Karakter Lafal Dilihat dari Sisi Dilâlah-nya
Lafal zhâhir adalah lafal yang dengan jelas menunjukkan suatu makna tanpa memerlukan indikator eksternal, namun bukan makna tersebut yang dimaksud, melainkan makna lain yang secara samar diisyaratkan olehnya. Oleh karena itu lafal yang bersangkutan dapat menerima ta’wil atau menunjukkan makna zhanni yang kuat.[2]
Bandingan lafal zhâhir pada katagori lafal yang ghayr wâdhih al-dilâlah adalah lafal yang khafiy. Jadi lafal zhâhir merupakan lafal yang jelas petunjuknya dengan tingkat kejelasan yang paling rendah, sedangkan lafal khafiy merupakan lafal yang tidak jelas petunjuknya dengan tingkat ketidakjelasan yang paling rendah. Hal ini menunjukkan bahwa jarak kejelasan makna antara lafal zhâhir dan lafal khafiy itu sangat dekat.
Hukum lafal yang zhâhir wajib dipegangi makna tekstualnya hingga ada petunjuk yang kuat atas taqyîd, takhshish, ta’wil, atau naskh terhadapnya. Apabila lafal yang zhâhir itu mutlak, maka wajib dipegangi kemutlakannya hingga ada dalil yang membatasinya.  Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal zhâhir terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh), kecuali apabila ditemukan dalil yang menunjukkan taqyîd, takhshish, atau naskh baginya, atau telah di-ta’wil-kan dengan benar, maka dilalahnya berada pada makna yang tersirat padanya (isyârat al-nashsh).
Sedangkan lafal khafiy adalah lafal yang tidak tegas menunjuk suatu makna serta ada faktor luar yang menjadikan maksudnya samar kecuali dengan penelitian yang mendalam.[3] Kesamaran lafal tersebut terjadi ketika salah satu satuan akan dijadikan acuan baginya ternyata satuan tersebut sangat spesifik atau satuan-satuan yang mungkin dapat dijadikan acuan sangat bervariasi. Jadi lafal tersebut sebenarnya jelas maksudnya secara teoretis, namun samar bagi satuan yang akan dijadikan acuan atau contoh. Jadi, kesamaran kalimat khafiy bukan terletak pada kesamaran makna tekstualnya, baik makna leksikal maupun makna gramatikalnya, melainkan kesamaran dalam informasi obyektif dan implikasinya.
Hukum lafal yang khafiy adalah wajib diamalkan atau dipedomani berdasarkan hasil pemikiran ulama dan para ahli dalam tema yang bersangkutan yang dapat mengungkap kesamarannya, seperti pensyarah dan mujtahid. Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal khafiy tidak terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh), melainkan pada makna yang tersirat padanya (isyârat al-nashsh) setelah diungkap kesamaran maknanya oleh seorang mujtahid atau pakar dalam tema yang bersangkutan.
Lafal nashsh adalah lafal yang petunjuk maknanya sangat jelas dan searah dengan maksud penyebutannya, namun ia masih mungkin menerima takhshîsh[4] atau ta’wîl dengan kemungkinan yang lebih kecil daripada lafal zhâhir. Atau lafal itu menunjukkan makna yang qath`iy (petunjuknya maknanya pasti).[5] Lawannya adalah lafal musykil.
Hukum lafal nashsh adalah wajib diamalkan sesuai dengan makna yang ditunjukkannya secara tekstual, selama tidak ada petunjuk atas adanya ta’wîl atau takhshîsh. Kehujjahan lafal nashsh lebih kuat daripada lafal zhâhir. Oleh karena itu apabila terjadi pertentangan antara lafal nashsh dan lafal yang zhâhir, maka lafal nashsh harus diunggulkan dan lafal yang zhâhir dipahami dengan petunjuk lafal yang nashsh itu.[6] Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal nashsh terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh). Namun boleh jadi dilâlah primernya terdapat pada makna yang tersirat (isyârat al-nashsh) setelah diungkap ta’wil atau takhshish yang dapat diterima, atau bahkan dilâlah-nya di-nasakh.
Bandingan lafal nashsh adalah lafal musykil, yaitu lafal yang redaksinya tidak menunjukkan makna yang dikehendaki, sehingga harus ada indikasi dari luar teks agar menjadi jelas apa yang dikehendaki.[7]
Dari definisi lafal khafiy dan lafal musykil dapat dijelaskan perbedaan di antara keduanya adalah bahwa kesamaran dalam lafal khafiy bukan pada makna tekstualnya, melainkan muncul ketika akan diaplikasikan kepada sebagian satuannya, sedangkan kesamaran dalam lafal musykil terdapat pada redaksinya atau makna tekstualnya.
Faktor kemusykilan suatu kalimat adalah a) padanya terdapat kata-kata yang sulit dipahami secara tekstual,[8] b) padanya terdapat kata yang musytarak, yaitu kata yang mengandung banyak kemungkinan makna, sedangkan redaksi kalimat tidak menunjukkan salah satu maknanya dengan tegas, c) ada kalimat lain yang bertentangan, meskipun pada dasarnya redaksi kalimat tersebut sama sekali tidak sulit dipaham apabila tidak kalimat yang lain yang bertentangan itu.
Hukum lafal musykil adalah sebagai berikut, (1) pertama-tama dikaji sejumlah makna yang mungkin ditunjukkan oleh lafal yang bersangkutan, (2) ijtihad untuk mengungkap indikasi yang menunjukkan salah satu dari makna-makna yang dimaksudkan. Apabila telah ditemukan makna yang dimaksudkannya, maka wajib diamalkan sesuai dengan makna tersebut.[9] Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal musykil tidak terapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh), melainkan pada makna yang tersirat (isyârat al-nashsh) setelah teridentifikasi sejumlah indikasi yang mengungkap kesamaran maknanya.
Lafal mufassar adalah lafal yang petunjuknya sangat jelas, sehingga tidak mungkin menerima ta’wîl atau takhshîsh. Kejelasan maksud lafal tersebut adakalanya berupa bilangan yang lazim digunakan dengan makna yang pasti. Adakalanya dipahami dari seluruh rangkaian kalimat. Adakalanya berupa lafal yang telah disepakati sebagai suatu istilah dengan makna dan maksud tertentu. Lawannya adalah mujmal.[10]
Lafal mufassar wajib diamalkan sebagaimana petunjuk makna tekstualnya. Penafsiran terhadap ayat yang mengandung lafal mufassar tidak boleh dipalingkan dari makna tekstualnya. Hanya saja lafal mufassar itu pada masa Rasulullah Saw. dapat menerima nasakh. Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal mufassar terdapat makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh) dan tidak menutup kemungkinan adanya dilâlah skunder pada makna yang tersirat (isyârat al-nashsh).
Bandingan bagi lafal yang mufassar adalah lafal mujmal. Adapun lafal mujmal adalah lafal yang menunjukkan sejumlah makna dan tidak jelas salah satu makna yang dimaksudkan, sehingga memerlukan penafsiran dan penelitian yang mendalam.[11] Akan tetapi makna-makna tersebut merupakan cakupan dari lafal tersebut dan tidak bertentangan satu sama lain, seperti lafal shalat untuk doa, membaca shalawat, dan shalar yang masyhur.
Lafal mujmal wajib dicari makna yang dimaksudkan oleh pembicaranya, Allah, baik melalui ayat lain, melalui hadis, maupun melalui penelitian terhadap indikasi yang mengungkap kesamaran lafal tersebut. Apabila tidak diperoleh petunjuk atau indikasi tentang makna yang dimaksudkan, maka wajib dibiarkan dalam ke-mujmal-annya hingga ada petunjuk lain.[12] Apabila ada bayân yang sempurna dan pasti tentang lafal yang mujmal tersebut, maka lafal mujmal tersebut berubah menjadi lafal mufassar, seperti lafal kata shalat, zakat, dan puasa. Apabila ada bayân tentang lafal mujmal tersebut, namun bayan itu tidak menghilangkan ke-mujmal-annya secara tuntas, maka lafal mujmal itu berubah menjadi musykil, [13] sehingga harus diperlakukan sebagai lafal muyskil.
Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal mujmal terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh) secara global setelah melalui analisis yang seksama, dengan lingkup dilâlah yang sangat luas dan dapat diungkap sebagai makna aplikatif (dilâlat al-nashsh). Namun boleh jadi makna tekstual tersebut menyiratkan makna lain (isyârat al-nashsh) sebagai dilâlah skunder.
Lafal muhkam merupakan tingkat tertinggi dari lafal yang petunjuknya jelas. Sedangkan lafal mutasyâbih merupakan tingkat tertinggi dari lafal yang petunjuknya tidak jelas, artinya lafal yang paling tidak jelas maknanya. Lafal muhkam adalah lafal yang menunjukkan suatu makna dengan sangat jelas dan pasti, tidak menerima ta’wîl, takhshîsh, dan naskh. Lafal mufassar pada dasarnya adalah lafal muhkam yang tidak mungkin di-naskh. Keduanya sama-sama jelasnya, tapi kekuatan petunjuk lafal muhkam jauh lebih kuat.[14] Lawan lafal muhkam adalah lafal mutasyâbih.
Ketentuan dalam kalimat yang muhkam wajib diamalkan sesuai dengan petunjuk tekstualnya, tidak pernah berubah dalam berbagai keadaan. Makna lafal muhkam tidak dapat dipalingkan dari makna lahirnya. Kehujjahan lafal muhkam menempati peringkat tertinggi dibandingkan kehujjahan lafal-lafal yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal muhkam terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh) dan tidak menutup kemungkinan adanya dilâlah skunder pada makna yang tersirat (isyârat al-nashsh).
Sedangkan lafal mutasyâbih adalah lafal yang terlalu sulit untuk diketahui maknanya yang dikehendaki. Jadi ia merupakan lafal yang berada pada puncak kesamaran maksudnya. Sebaliknya, lafal muhkam berada pada puncak kejelasan maksudnya.[15] Oleh karena itu lafal mutasyâbih harus disikapi dengan sangat berhati-hati dalam melakukan ta’wîl terhadapnya disertai niat yang tulus dan keyakinan yang kokoh bahwa maksud Rasulullah Saw. dengan lafal tersebut pasti benar, hanya saja kita belum bisa sepenuhnya menangkap maksud tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal mutasyabih tidak terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh), melainkan pada makna yang tersirat (isyârat al-nashsh) setelah diupayakan ta’wil-nya secara maksimal dan penuh kehati-hatian.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lafal-lafal yang menunjukkan makna yang qath`iy adalah lafal-lafal yang dilalah primernya terletak pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh), yaitu lafal-lafal yang nashsh, mufassar, dan muhkam. Sedangkan lafal-lafal yang menunjukkan makna yang zhanniy adalah lafal-lafal yang dilalah primernya tidak terdapat pada makna tekstualnya, melainkan pada makna tersiratnya (isyârat al-nashsh).
C. Macam-macam Dilâlah Lafal atas Kandungannya
Macam-macam karakter lafal tersebut di atas menuntut ketelitian dan kesungguhan para peneliti dan mufassir dalam memahami makna dan maksud setiap lafal dalam Al-Quran dengan segala karakternya agar dapat mengambil dilâlah dari setiap ayat Al-Quran yang dihadapinya dengan tepat. Selain itu mereka dituntut untuk mengembangkan pemahaman dilâlah ayat seluas-luasnya dengan menggunakan seluruh indikasinya, menganalisis keluasan makna lafal dengan menghimpun seluruh satuan yang tercakup di dalamnya, dan mengidentifikasi sejumlah faktor yang menjadi pijakan implementasinya.
Memahami macam-macam dilâlah suatu lafal merupakan modal yang sangat penting dalam mensyarah hadis dan mengambil berbagai kesimpulan darinya. Kajian ini dirumuskan oleh para ulama ushul fiqh dalam kaitannya dengan penyusunan ushûl al-istinbâth, ushûl al-tafsîr, ushûl al-istidlâl, dan ushûl al-tasyrî`.[16]
Di kalangan ulama madzhab Hanafi dikenal empat macam dilâlah, yaitu `ibârat al-nashsh, isyârat al-nashsh, dilâlat al-nashsh, dan iqtidhâ’ al-nashsh. Istilah keempat macam dilâlah sering juga disebut dengan dilâlat al-`ibârah, dilâlat al-isyârah, dilâlat al-nashsh, dan dilâlat al-iqtidha’. Sedangkan di kalangan ulama madzhab Syafi`i dikenal dua macam dilâlah, yaitu dilâlat al-manthûq dan dilâlat al-mafhûm. Masing-masing terbagi menjadi dua, yaitu dilâlat al-manthûq al-sharîhah dan dilâlat al-manthûq ghair al-sharîhah serta dilâlat al-mafhûm muwâfaqah dan dilâlat al-mafhûm mukhâlafah. Selanjutnya dilâlat al-mafhûm muwâfaqah dibagi menjadi dua, yaitu fahwâ al-khithâb dan dalil al-khithâb.[17]
Di kalangan ulama ushul fiqh pendekatan dengan keempat teori dilâlah tersebut dilakukan secara terpisah, karena yang menjadi fokus perhatian mereka adalah masalah hukum dalam arti aturan formal syari`at yang berkaitan dengan perilaku manusia. Akan tetapi, karena pembahasan metodologi penafsiran Al-Quran tidak hanya difokuskan pada pengambilan hukum, melainkan juga untuk mengungkap sebanyak-banyaknya petunjuk ayat dan tuntutan maknanya, maka pendekatan dengan keempat macam dilâlah tersebut dapat dilakukan sekaligus terhadap suatu ayat Al-Quran, sehingga berbagai kesimpulan dapat diambil darinya. Kesimpulan-kesimpulan dimaksud tidak semuanya merupakan dilâlah primer dari ayat yang bersangkutan, melainkan juga dilâlah skunder, dan bahkan dilâlah tersier yang merupakan ruang pemgembangan implikasi makna apabila diperlukan. Demikian juga bila penafsiran menggunakan pendekatan teori dilâlat al-manthûq dan dilâlat al-mafhûm di kalangan ulama madzhab Syafi`i, dapat dilakukan sekaligus. Pada pembahasan selanjutnya istilah-istilah yang digunakan adalah istilah-istilah yang dipergunakan di kalangan ulama madzhab Hanafi, semata-mata karena istilah-istilahnya lebih praktis.
`Ibârat al-nashsh adalah petunjuk lafal atas makna yang segera dipahami secara tekstual, baik makna aslinya maupun makna yang datang kemudian. Isyârat al-nashsh adalah petunjuk lafal atas makna yang tidak segera dipahami secara tekstual, namun merupakan konsekuensi logis dari makna tekstualnya, baik logis rasional maupun logis tradisional. Dilâlat al-nashsh adalah petunjuk lafal atas berlakunya makna lafal atas makna yang tidak terucap karena adanya faktor kesamaan yang menjadi alasan pemberlakuan tersebut (identik dengan teori qiyâs). Sedangkan iqtidhâ’ al-nashsh adalah petunjuk lafal atas keharusan adanya sesuatu (lafal atau harf) yang tidak terucap dan sesuatu itu menjadi kunci bagi pemahaman lafal tersebut.[18] Singkatnya `ibârat al-nashsh adalah petunjuk tekstual, isyârat al-nashsh adalah petunjuk yang tersirat dibalik makna tekstual, dilâlat al-nashsh adalah petunjuk kontekstual sebagai langkah pengembangan dengan prinsip qiyas, dan iqtidhâ’ al-nashsh adalah keharusan adanya kata kunci ekstern bagi pemahaman lafal tersebut.
Berikut ini adalah contoh bagi pendekatan keempat dilâlah tersebut beserta sejumlah kesimpulan yang dapat diambil,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا ءَامِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ(2)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al-Ma’idah: 2)
Dilihat dari karakter lafalnya, ayat ini terdiri dari enam kalimat dengan rangkaian kata-kata dan karakternya masing-masing.
1) يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا ءَامِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا
Kalimat ini terdiri dari sejumlah kata. secara harfiah bermakna janganlah kamu menghalalkan, suatu makna yang operasionalnya sangat bermacam-macam tergantung kepada obyeknya dan hal-hal lainnya. Oleh karena itu lafal ini termasuk kata yang mujmal. Dan untuk memahami maknanya harus dikaitkan dengan obyeknya. Lafal “sya`â’ir Allah” –sebagai obyek lafal “lâ tuhillû”- juga merupakan kata yang mujmal, karena ia berbentuk jamak sehingga mencakup banyak makna.[19] Makna-makna tersebut tidak dapa dipilih begitu saja, melainkan harus berdasarkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan salah satu maknanya secara khusus, baik indikasi dari dalam teks berupa rangkaian kalimat sebelum dan sesudahnya maupun indikasi dari luar teks berupa ayat lain, hadis, ketentuan umum syari`at, konteks budaya Arab Quraisy ketika ayat turun, dan logika bahasa. Indikasi yang terdapat dalam ayat ini antara lain berupa rangkaian kata-kata berikutnya, yang merupakan penyebutan kata umum setelah kata yang khusus. Dengan demikian sebagian dari cakupan makna “sya`âir Allah” adalah “al-syahr al-harâm, al-hady, dan al-qalâ’id, dan âmmîn al-bayt al-harâm yabtaghûn fadhlan minallâh wa ridhwânan”.
Makna “sya`â’ir” adalah segala sesuatu yang dijadikan sebagai simbol-simbol kekuasaan dan keagungan Allah. Banyak riwayat menjelaskan bahwa kedua ayat ini, bahkan surat Al-Ma’idah, turun pada haji wada` sekaligus, maka konteks ayat ini berkenaan dengan ibadah haji, sehingga makna lafal “sya`â’ir” berkisar pada ketentuan pokok dan rincian ibadah haji, tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji, dan larangan-larangan sehubungan dengan pelaksanaan ibadah haji. Sementara itu lafal-lafal cakupannya juga dalam konteks ibadah haji. Lafal “al-syahr al-harâm”, meskipun mencakup empat bulan, namun dalam ayat ini konteksnya adalah bulan yang menjadi waktu pelaksanaan ibadah haji, yaitu bulan Dzul Hijjah. Sedangkan larangan menghalalkan bulan haram adalah larangan mendahului perang padanya. Jadi petunjuknya qath`iy. Lalal “al-hady, dan al-qalâ’id” adalah `alam (nama), sehingga petunjuknya juga qath`iy, sedangkan larangan menghalalkannya yang paling mudah dipaham adalah larangan mengganggu hewan-hewan yang telah dijadikan sebagai hadyu dan qala’id. Namun demikian ada kemungkinan lain, yaitu larangan tidak menunaikan hadyu atau tidak mengikuti prosedur dan teknik hadyu dan qala’id.
Lafal “âmmîn al-bayt al-harâm” paling tepat diartikan sebagai orang-orang yang bermaksud ke baitullah untuk menunaikan haji atau umrah, karena indikasi yang menunjukkan kepada makna tersebut cukup kuat, lebih-lebih diiringi keterangan tentang maksud kedatangan mereka ke baitullah itu, yaitu untuk mencari anugerah dan keridhaan Allah. Di antara indikasi tersebut adalah kalimat berikutnya, “wa idzâ halaltum fa ishthâdû”.
Dengan berpijak kepada indikasi-indikasi tersebut di atas dan indikasi-indikasi lainnya, maka kalimat tersebut dapat dikatagorikan sebagai lafal mufassar, sehingga dapat memberikan petunjuk yang qath`iy. Dengan demikian jenis dilalahnya `ibarat al-nashsh.
Dalam tafsir Al-Quthubi dijelaskan bahwa Ibnu Abbas menyatakan bahwa ayat ini muhkam dan tidak mansûkh bagi orang-orang Muslim dan larangannya bersifat umum, baik di bulan haram maupun di luar bulan haram.
2) وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا
Lafal “halaltum” adalah fi`l lâzim dan merupakan akibat dari “tahallala” yang dalam konteks haji adalah melakukan kegiatan yang menandai selesainya ihram haji atau umrah. Lafal “fa ishthâdû” juga merupakan lafal yang maknanya sangat jelas, yaitu perintah/izin untuk berburu atau menyembelih dan memakan hewan buruan. Dengan demikian kalimat ini juga muhkam dan maknanya qath`iy. Wa qis al-bâqiy `alayh!.

Pendekatan
Dilalah yang dapat diambil
`ibârat al-nashsh dari kalimat 1
Melanggar ketentuan pelaksanaan ibadah itu dilarang, termasuk melanggar peraturan di bulan haram, mengganggu binatang yang telah diserahkan kepada kepentingan baitullah, dan mengganggu orang yang melaksanakan haji atau umrah.
Isyârat al-nashsh dari kalimat 1
Orang-orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah wajib memenuhi berbagai ketentuan yang berbaitan dengan ibadah ibadah haji dan umrah, ketentuan-ketentuan seputar bulan haram, hadyu dan qala’id, serta ketentuan-ketentuan seputar hak dan kewajiban orang-orang yang menunaikan haji dan umrah.
Dilâlat al-nashsh dari kalimat 1
Melanggar simbol-simbol keagungan Allah itu dilarang, seperti melanggar ketentuan pelaksanaan ibadah, waktu ibadah, sarana ibadah, dan pelaku ibadah.
`ibârat al-nashsh dari kalimat 2
Berburu dihalalkan kembali bagi orang yang telah menyelesaikan menunaikan haji atau umrah dan telah bertahallul.
Isyârat al-nashsh dari kalimat 2
Batas waktu pelarangan berburu bagi orang yang menunaikan ibadah haji atau umrah adalah sejak ia melakukan ihram sampai ia mengakhirinya.
Dilâlat al-nashsh dari kalimat 2
Seluruh apa yang halal bagi orang yang tidak sedang ihram menjadi halal kembali setelah ihramnya selesai.

D. Pengaruh Qath`iy dan Zhanniy
Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa lafal-lafal yang mengandung petunjuk qath`iy harus dipahmi petunjuknya secara tekstual (`ibârat al-nashsh), meskipun tidak menutup kemungkinan untuk dipahami secara konotatif dengan mengambil petunjuk yang tersirat (isyârat al-nashsh). Bahkan sebagai langkah pengembangan dan kontekstualisasi perlu digali dilât al-nashsh dengan berpijak kepada prinsip qiyâs. Kehadiran ketiga petunjuk tersebut tidak perlu dipahami sebagai sebuah pertentangan, melainkan sebagai keluasan makna Al-Quran. Sementara itu lafal-lafal yang mengandung petunjuk zhanni tidak dapat dipahami petunjuknya secara tekstual (`ibârat al-nashsh), melainkan secara konotatif (isyârat al-nashsh). Namun, sama-sama dapat dikembangkan kepada dilât al-nashsh.
Hanya saja jenis lafal yang tidak menerima ta’wil, yaitu muhkam dan mufassar, dalam Al-Quran tidak sebanyak jenis lafal yang menerima ta’wil, sehingga peluang untuk mena’wilkan Al-Quran itu sangat besar. Selain itu, kemampuan para pengamat dan penafsir Al-Quran menangkap petunjuk-petunjuk ayat Al-Quran, baik `ibârat al-nashsh, isyârat al-nashsh, maupun dilât al-nashsh, sangat bervariasi. Ditambah lagi sangat sulit seseorang melepaskan diri dari berbagai pora berpikir yang telah terbentuk dalam dirinya, sama sulitnya dengan menghindari kecenderungan-kecenderungan subyektif.
Di antara pengaruh yang ekstrim dari konsep qath`iy dan zhanniy adalah lahirnya sejumlah madzhab di bidang akidah dan syari`ah atau hukum. Idealnya lafal yang qath`iy tidak lagi menimbulkan perbedaan pendapat, karena lafal yang qath`iy merupakan wujud dari umm al-kitâb. Sedangkan lafal yang zhanniy sebenarnya bukanlah merupakan arena untuk berbeda pendapat, namun kemungkinan perbedaan pendapat tersebut sangat besar. Hanya saja ada kaidah yang sangat moderat dalam menyikapi perbedaan pendapat, yaitu al-khurûj min al-khilâf mustahabb. Selain itu, sebaiknya apabila suatu lafal telah dapat dipaham dan diamalkan secara tekstual, maka hendaknya tidak terlalu dipaksakan makna yang berada di balik makna tekstualnya.
Sehubungan dengan hal itu, sebagian pengamat kemudian menyikapi keadaan ini dengan “berlapang dada” dan mengaitkan konsep qath`iy dan zhanniy kepada ketentuan umum yang disepakati dan yang tidak disepakati. Ketentuan umum yang benar-benar qath`iy dan disepakati atau diakui mayoritas umat sebagai pokok ajaran Islam selanjutnya dijadikan sebagai kriteria qath`iy, sedangkan ketentuan umum yang tidak disepakati atau tidak diakui mayoritas umat sebagai pokok ajaran Islam selanjutnya menjadi kriteria zhanniy. Kriteria yang demikian tidak sepenuhnya benar, karena sebenarnya konsep qath`iy dan zhanniy itu berangkatnya dari petunjuk teks Al-Quran dan kehendak Allah. Kesalahan ini terbukti bahwa apabila kriteria qath`iy dan zhanniy itu kesepakatan dan ketidaksepakatan, maka ketika terjadi perbedaan pendapat di antara umat tidak dapat dikembalikan kepada petunjuk teks Al-Quran dan kehendak Allah.
Masalah batalnya wudhu karena kentut dan buang air besar atau kecil telah disepakati, lalu tidur dan persentuhan kulit anatara laki-laki dan wanita dewasa yang bukan mahram tidak disepakati. Lalu kasus ini bagi para penganut masing-masing pendapat tersebut berpengaruh dalam penafsiran terhadap “aw lâmastum al-nisâ’” (QS Al-Nisa’: 43 dan Al-Ma’idah: 6). Masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan sejumlah argumentasi. Apakah cara yang demikian dapat dibenarkan? Maka para ulama menerapkan kaidah dalam menyikapi ikhtilaf, yaitu al-khurûj min al-khalâf mustahabb yang berangkat dari prinsip ihtiyâth (kehati-hatian).
E. Penutup
Makalah yang sedemikian singkat rasanya hampir seluruhnya merupakan kesimpulan dari sekian tulisan yang penulis baca dan dari sekian pikiran penulis. Oleh karena itu penulis tidak membuat kesimpulan. Hanya saja penulis berharap semoga makalah ini dapat menggugah keingintahuan kita semua untuk mengejar petunjuk-petunjuk yang qath`iy dari Al-Quran, tanpa mengesampingkan petunjuk-petunjuk yang zhanniy.












DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdurrahman, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Quran (Disusun berdasarkan Al-Qawâ`id al-Hisân li Tafsîr al-Qur’ân karya Al-sa`di), Mizan, Bandung, 1997.
Dzahabi, Muhammad Husain Al-, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dar al-Kutub al-Haditsah, Kairo, 1961.
Ibnu Katsir, Abu al-Fida Isma`il Al-Qurasyi Al-Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, Dar al-Fikr, 1984.
Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ushul al-Tafsîr wa Qawâ`iduhu, Dar al-Nafais, Beirut, 1986.
Khudhari Muhammad Al-, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, t.t., 1981.
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, PT Al-Ma`arif, Bandung, 1986.
Qurthubi, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Faraj Al-Anshari Al-, Al-Jâmi` li-Ahkâm al-Qur’ân, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, t.t.
Suyuthi, Jalaluddin bin Abdurrahman Al-, Al-Itqân fi `Ulûm al-Qurân, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, t.t.
Syairazi, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al-Fairuzabadi Al-Syafi`i Al-,  Al-Luma` fî Ushûl al-Fiqh, Syirkah Maktabah wa Mathba`ah Ahmad bin Sa`d bin Nabhan wa Auladuhu, Surabaya, t.t.


[1] Dalam tataran ilmu dilâlah praktis, yaitu menurut ulama ushul fiqh, maksud pembicara yang tidak sesuai dengan makna redaksi kalimatnya disebut sebagai isyârat al-nashsh atau dilâlat al-isyârah. Makna kalimat disebut sebagai `ibârat al-nashsh atau dilâlat al-`ibârah. Sedangkan informasi obyektif kalimat disebut sebagai dilâlat al-nashsh atau dilâlat al-dilâlah.
[2] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, t.t., 1981, Hlm. 129; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ushul al-Tafsîr wa Qawâ`iduhu, Dar al-Nafais, Beirut, 1986, Hlm. 327. Tawil adalah memahami suatu lafal berdasarkan kepada salah satu maknanya yang jauh dengan meninggalkan makna yang paling dikenal. Dalam perkembangan analisis teks mutakhir konsep tawil merupakan dasar pijakan bagi hermeneutika.
[3] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Ibid, Hlm. 135; Al-Bazdawi, Ushûl al-Bazdawi, I: 52 dikutip dari Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ushul al-Tafsîr wa Qawâ`iduhu, Hlm. 344. Sementara Al-Sarkhasi dalam Ushul al-Sarkhasi, I: 176 menyatakan bahwa faktor penghalang itu berada dalam redaksi kalimat yang bersangkutan.
[4] Takhshish secara sederhana berarti pengkhususan makna pada sebagian satuan-satuan yang tercakup dalam suatu kata dengan mengecualikan satuan yang lainnya.
[5] Indikasi qath`iyyat dilâlat al-lafzhi adalah apabila pengertian yang ditunjuk oleh lafal tersebut tidak dapat ditafsirkan kepda arti yang di luar artinya yang semula. Lihat Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Hlm. 56.
[6] Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ushul al-Tafsîr wa Qawâ`iduhu, Hlm. 329-331.
[7] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Ibid, Hlm. 129, 135; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ibid, Hlm. 329, 347; Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Kaidah-kaidah Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Hlm. 287.
[8] Khalid Abdurrahman Al-`Ak (Ibid, Hlm. 347) mengemukakan salah satu contoh kemunykilan jenis ini dengan mengutip firman Allah, qawârîra min fidhdhah (gelas-gelas dari perak QS Al-Insan: 16), padahal lazimnya gelas terbuat dari kaca.
[9] Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ibid, Hlm. 350.
[10] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Ibid, Hlm. 129, 135.
[11] Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ibid, Hlm. 332, 352. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa lafal mujmal ada tiga macam, 1) Lafal mujmal yang tidak dikenal dalam bahasa sehari-hari dan tidak diketahui maknanya sebelum ditafsirkan, seperti lafal halû` (berkeluh kesah); 2) Lafal yang dalam bahasa sehari-hari diketahui maknanya, namun bukan makna sehari-hari itu yang dikehendaki, seperti riba, shalat, dan zakat; dan 3) Lafal yang diketahui maknanya dalam bahasa sehari-hari, namun maknanya banyak dan hanya salah satunya yang dikehendaki.
[12] Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ibid, Hlm. 354.
[13] Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Kaidah-kaidah Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Hlm. 290.
[14] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Ibid, Hlm. 129; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ibid, Hlm. 335; Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Kaidah-kaidah Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Hlm. 281.
[15] Banyak ulama salaf memahami lafal mutasyabih sebagai lafal yang mustahil diketahui makna yang dimaksudkan dan harus disikapi dengan tawaqquf dengan tidak melakukan tawil. Lihat Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Ibid, Hlm. 135; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ibid, Hlm. 355. Namun, baik Al-Quran maupun hadis, tidak menutup kesempatan sedemikian rupa. Al-Quran menyebutkan bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya dapat mengetahui tawil lafal-lafal mutasyabihat (QS Ali Imran: 7). Rasulullah Saw. juga menyatakan bahwa di antara halal dan  haram terdapat hukum musytabihat, semakna dengan mutasyabihat, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia (HR Jama`ah). Hal ini menunjukkan bahwa dengan upaya yang maksimal dan dengan bekal keilmuan tertentu, seseorang dapat mengetahui makna yang dimaksud dari lafal yang mutasyabih tersebut dalam batas kemampuan nalar manusia. Namun harus disertai keyakinan bahwa maksud Rasulullah Saw. yang hakiki mungkin lain, sehingga tidak mengklaim pendapatnya itulah yang paling benar ketika ada pendapat yang lain.
[16] Ushûl al-istinbâth adalah prinsip-prinsip pengambilan makna inti dan kesimpulan hukum dari ayat Al-quran, hadis, maupun dalil-dalil lain, atau prinsip-prinsip pengambilan hukum secara deduktif. Ushûl al-tafsîr adalah prinsip-prinsip penafsiran Al-Quran dan hadis serta pengembangannya. Ushûl al-istidlâl adalah prinsip-prinsip pengambilan hukum secara induktif. Sedangkan ushûl al-tasyrî` adalah prinsip-prinsip penetapan dan penerapan hukum syari`ah serta penuangannya dalam kitab-kitab hukum atau undang-undang.
[17] Muhammad Al-Khudhari, Op Cit, 118-123; Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al-Syairazi Al-Fairuzabadi Al-Syafi`i, Al-Luma` fî Ushûl al-Fiqh, Syirkah Maktabah wa Mathba`ah Ahmad bin Sa`d bin Nabhan wa Auladuhu, Surabaya, t.t., Hlm. 24.
   `Ibârat al-nashsh identik dengan dilâlat al-manthûq al-sharîhah, isyârat al-nashsh identik dengan dilâlat al-manthûq ghair al-sharîhah, dilâlat al-nashsh identik dengan dilâlat al-mafhûm yang dibagi menjadi dua, yaitu fahwâ al-khithâb (qiyas jaliy maupun qiyas khafiy) dan dalil al-khithâb (mafhûm mukhâlafah), meskipun para ulama madzhab Hanafi menolak teori dalîl al-khithâb. Sedangkan iqthidhâ al-nashsh identik dengan lahn al-khithâb. Keterangan di atas menunjukkan bahwa perbedaan antara ulama Hanafiyah dan Syafi`iyah dalam konsep dilâlah terletak pada dilâlat al-mafhûm mukhâlafah atau dalil al-khithâb, yaitu apabila hukum yang diambil dari lafal itu berkaitan dengan salah satu sifat subyek hukumnya, sehingga hukum tersebut menunjukkan ketentuan lain bagi subyek hukum dengan sifat yang lain, seperti ketika Al-Quran memerintahkan untuk melakukan ceking berita yang disampaikan oleh orang fasik, maka mafhum mukhâlafah-nya adalah bila berita itu datang dari orang yang adil tidak perlu diragukan dan diceking sedemikian rupa.
[18] Muhammad Al-Khudhari, Op Cit, 118-123; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ibid, Hlm. 362-374.
[19] Makna-makna lafal ini dapat dilihat dalam kitab-kitab tafsir, seperti Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jâmi` li-Ahkâm al-Qur’ân dan Tafsir Ibnu Katsir. Ibnu Abbas menyatakan bahwa syi`âr yang dimaksud adalah seluruh ibadah yang dilakukan, sedangkan Mujahid menafsirkan dengan bukit Shafa dan bukit Marwah.