Jumat, 02 Maret 2012

KONSEP QATH`IY DAN ZHANNIY AL-DILALAH DALAM MEMAHAMI AL-QURAN DAN HADIS



KONSEP QATH`IY DAN ZHANNIY
SERTA IMPLIKASINYA DALAM MEMAHAMI AL-QURAN
A. Pendahuluan
Redaksi Al-Quran dalam wujudnya sekarang adalah rangkaian kalimat-kalimat yang terbentuk dari rangkaian kata-kata yang menyimpan sejumlah makna. Maka, untuk memahami makna suatu ayat mutlak harus melalui analisis terhadap redaksinya secara seksama, kata demi kata. Dalam kajian ilmu dilâlah (semantik), makna suatu kata atau kalimat (dalam istilah sehari-hari) dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu maksud pembicara, makna kata atau kalimat yang terucap, dan informasi obyektif dari apa yang dibicarakan. Dalam pada itu, ada kalanya maksud pembicara benar-benar sesuai dengan makna redaksi kalimat yang digunakan, tidak kurang dan tidak lebih. Namun ada kalanya maksud tersebut tidak sesuai dengan makna redaksi kalimat yang digunakan, melainkan hanya tersirat di dalamnya. Lalu dari kedua jenis makna tersebut tersimpul makna umum sebagai informasi obyektif yang selanjutnya dapat dijadikan pedoman bagi pengembangan dan kontekstualisasinya.[1]
Dalam kajian ilmu dilâlah, lafal dapat dibagi menjadi dua, yaitu lafal yang jelas petunjuknya (wâdhih al-dilâlah) dan lafal yang tidak jelas petunjuknya (ghayr wâdhih al-dilâlah). Lafal yang jelas dilâlah-nya adalah lafal yang petunjuknya dapat dipahami tanpa memerlukan qarinah (indikasi) dari luar lafal. Sedangkan lafal yang tidak jelas dilâlah-nya adalah lafal yang petunjuknya tidak dapat dipahami kecuali dengan mendatangkan qarinah (indikasi) dari luar lafal. Semuanya berangkat dari pemahaman yang sederhana, yaitu pemahaman yang dapat diambil dengan cepat ketika lafal itu diucapkan. Selanjutnya masing-masing dari kedua jenis lafal tersebut terbagi menjadi empat tingkat yang saling berlawanan. Lafal yang jelas petunjuknya terbagi menjadi zhâhir, nashsh, mufassar, dan muhkam. Sedangkan lafal yang tidak jelas petunjuknya terbagi menjadi khafiy, musykil, mujmal, dan mutasyâbih. Urutan penyebutan ini menunjukkan urutan tingkat kejelasan dan ketidakjelasannya. Muhkam merupakan lafal yang paling jelas petunjuknya, lawannya adalah mutasyâbih yang merupakan lafal yang paling tidak jelas petunjuknya. Tingkatan berikutnya mufassar berlawanan dengan mujmal. Tingkatan berikutnya nashsh yang berlawanan dengan musykil. Dan tingkatan terakhir zhâhir yang merupakan lafal terendah dari kelompok lafal yang wâdhih al-dilâlah berlawanan dengan khafiy yang merupakan lafal paling jelas petunjuknya dari kelompok lafal yang ghayr wâdhih al-dilâlah.
Dari sinilah pembahasan qath`iy dan zhanniy berangkat. Secara umum semua lafal yang termasuk dalam katagori ghayr wâdhih al-dilâlah mengandung petunjuk yang zhanniy, sementara itu tidak semua lafal yang termasuk dalam katagori wâdhih al-dilâlah mengandung petunjuk yang qath`iy. Lafal yang dimaksud terakhir adalah lafaz zhâhir dan lafal nashsh, meskipun kemungkinan takhshish dan ta’wîl pada lafal nashsh lebih kecil. Sehingga lafal yang nashsh suatu saat mengandung makna qath`iy dan pada saat yang lain mengandung makna yang zhanniy. Sedangkan lafal yang mufassar dan lafal yang muhkam menunjukkan makna yang qath`iy. Untuk mengetahui lebih lanjut kriteria lafal yang qath`iy dan yang zhanniy, maka berikut ini akan dibahas secara ringkas karakter kedelapan lafal tersebut, selanjutnya akan dibahas pula bagaimana mengambil dilâlah lafal dengan karakter masing-masing.
B. Karakter Lafal Dilihat dari Sisi Dilâlah-nya
Lafal zhâhir adalah lafal yang dengan jelas menunjukkan suatu makna tanpa memerlukan indikator eksternal, namun bukan makna tersebut yang dimaksud, melainkan makna lain yang secara samar diisyaratkan olehnya. Oleh karena itu lafal yang bersangkutan dapat menerima ta’wil atau menunjukkan makna zhanni yang kuat.[2]
Bandingan lafal zhâhir pada katagori lafal yang ghayr wâdhih al-dilâlah adalah lafal yang khafiy. Jadi lafal zhâhir merupakan lafal yang jelas petunjuknya dengan tingkat kejelasan yang paling rendah, sedangkan lafal khafiy merupakan lafal yang tidak jelas petunjuknya dengan tingkat ketidakjelasan yang paling rendah. Hal ini menunjukkan bahwa jarak kejelasan makna antara lafal zhâhir dan lafal khafiy itu sangat dekat.
Hukum lafal yang zhâhir wajib dipegangi makna tekstualnya hingga ada petunjuk yang kuat atas taqyîd, takhshish, ta’wil, atau naskh terhadapnya. Apabila lafal yang zhâhir itu mutlak, maka wajib dipegangi kemutlakannya hingga ada dalil yang membatasinya.  Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal zhâhir terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh), kecuali apabila ditemukan dalil yang menunjukkan taqyîd, takhshish, atau naskh baginya, atau telah di-ta’wil-kan dengan benar, maka dilalahnya berada pada makna yang tersirat padanya (isyârat al-nashsh).
Sedangkan lafal khafiy adalah lafal yang tidak tegas menunjuk suatu makna serta ada faktor luar yang menjadikan maksudnya samar kecuali dengan penelitian yang mendalam.[3] Kesamaran lafal tersebut terjadi ketika salah satu satuan akan dijadikan acuan baginya ternyata satuan tersebut sangat spesifik atau satuan-satuan yang mungkin dapat dijadikan acuan sangat bervariasi. Jadi lafal tersebut sebenarnya jelas maksudnya secara teoretis, namun samar bagi satuan yang akan dijadikan acuan atau contoh. Jadi, kesamaran kalimat khafiy bukan terletak pada kesamaran makna tekstualnya, baik makna leksikal maupun makna gramatikalnya, melainkan kesamaran dalam informasi obyektif dan implikasinya.
Hukum lafal yang khafiy adalah wajib diamalkan atau dipedomani berdasarkan hasil pemikiran ulama dan para ahli dalam tema yang bersangkutan yang dapat mengungkap kesamarannya, seperti pensyarah dan mujtahid. Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal khafiy tidak terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh), melainkan pada makna yang tersirat padanya (isyârat al-nashsh) setelah diungkap kesamaran maknanya oleh seorang mujtahid atau pakar dalam tema yang bersangkutan.
Lafal nashsh adalah lafal yang petunjuk maknanya sangat jelas dan searah dengan maksud penyebutannya, namun ia masih mungkin menerima takhshîsh[4] atau ta’wîl dengan kemungkinan yang lebih kecil daripada lafal zhâhir. Atau lafal itu menunjukkan makna yang qath`iy (petunjuknya maknanya pasti).[5] Lawannya adalah lafal musykil.
Hukum lafal nashsh adalah wajib diamalkan sesuai dengan makna yang ditunjukkannya secara tekstual, selama tidak ada petunjuk atas adanya ta’wîl atau takhshîsh. Kehujjahan lafal nashsh lebih kuat daripada lafal zhâhir. Oleh karena itu apabila terjadi pertentangan antara lafal nashsh dan lafal yang zhâhir, maka lafal nashsh harus diunggulkan dan lafal yang zhâhir dipahami dengan petunjuk lafal yang nashsh itu.[6] Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal nashsh terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh). Namun boleh jadi dilâlah primernya terdapat pada makna yang tersirat (isyârat al-nashsh) setelah diungkap ta’wil atau takhshish yang dapat diterima, atau bahkan dilâlah-nya di-nasakh.
Bandingan lafal nashsh adalah lafal musykil, yaitu lafal yang redaksinya tidak menunjukkan makna yang dikehendaki, sehingga harus ada indikasi dari luar teks agar menjadi jelas apa yang dikehendaki.[7]
Dari definisi lafal khafiy dan lafal musykil dapat dijelaskan perbedaan di antara keduanya adalah bahwa kesamaran dalam lafal khafiy bukan pada makna tekstualnya, melainkan muncul ketika akan diaplikasikan kepada sebagian satuannya, sedangkan kesamaran dalam lafal musykil terdapat pada redaksinya atau makna tekstualnya.
Faktor kemusykilan suatu kalimat adalah a) padanya terdapat kata-kata yang sulit dipahami secara tekstual,[8] b) padanya terdapat kata yang musytarak, yaitu kata yang mengandung banyak kemungkinan makna, sedangkan redaksi kalimat tidak menunjukkan salah satu maknanya dengan tegas, c) ada kalimat lain yang bertentangan, meskipun pada dasarnya redaksi kalimat tersebut sama sekali tidak sulit dipaham apabila tidak kalimat yang lain yang bertentangan itu.
Hukum lafal musykil adalah sebagai berikut, (1) pertama-tama dikaji sejumlah makna yang mungkin ditunjukkan oleh lafal yang bersangkutan, (2) ijtihad untuk mengungkap indikasi yang menunjukkan salah satu dari makna-makna yang dimaksudkan. Apabila telah ditemukan makna yang dimaksudkannya, maka wajib diamalkan sesuai dengan makna tersebut.[9] Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal musykil tidak terapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh), melainkan pada makna yang tersirat (isyârat al-nashsh) setelah teridentifikasi sejumlah indikasi yang mengungkap kesamaran maknanya.
Lafal mufassar adalah lafal yang petunjuknya sangat jelas, sehingga tidak mungkin menerima ta’wîl atau takhshîsh. Kejelasan maksud lafal tersebut adakalanya berupa bilangan yang lazim digunakan dengan makna yang pasti. Adakalanya dipahami dari seluruh rangkaian kalimat. Adakalanya berupa lafal yang telah disepakati sebagai suatu istilah dengan makna dan maksud tertentu. Lawannya adalah mujmal.[10]
Lafal mufassar wajib diamalkan sebagaimana petunjuk makna tekstualnya. Penafsiran terhadap ayat yang mengandung lafal mufassar tidak boleh dipalingkan dari makna tekstualnya. Hanya saja lafal mufassar itu pada masa Rasulullah Saw. dapat menerima nasakh. Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal mufassar terdapat makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh) dan tidak menutup kemungkinan adanya dilâlah skunder pada makna yang tersirat (isyârat al-nashsh).
Bandingan bagi lafal yang mufassar adalah lafal mujmal. Adapun lafal mujmal adalah lafal yang menunjukkan sejumlah makna dan tidak jelas salah satu makna yang dimaksudkan, sehingga memerlukan penafsiran dan penelitian yang mendalam.[11] Akan tetapi makna-makna tersebut merupakan cakupan dari lafal tersebut dan tidak bertentangan satu sama lain, seperti lafal shalat untuk doa, membaca shalawat, dan shalar yang masyhur.
Lafal mujmal wajib dicari makna yang dimaksudkan oleh pembicaranya, Allah, baik melalui ayat lain, melalui hadis, maupun melalui penelitian terhadap indikasi yang mengungkap kesamaran lafal tersebut. Apabila tidak diperoleh petunjuk atau indikasi tentang makna yang dimaksudkan, maka wajib dibiarkan dalam ke-mujmal-annya hingga ada petunjuk lain.[12] Apabila ada bayân yang sempurna dan pasti tentang lafal yang mujmal tersebut, maka lafal mujmal tersebut berubah menjadi lafal mufassar, seperti lafal kata shalat, zakat, dan puasa. Apabila ada bayân tentang lafal mujmal tersebut, namun bayan itu tidak menghilangkan ke-mujmal-annya secara tuntas, maka lafal mujmal itu berubah menjadi musykil, [13] sehingga harus diperlakukan sebagai lafal muyskil.
Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal mujmal terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh) secara global setelah melalui analisis yang seksama, dengan lingkup dilâlah yang sangat luas dan dapat diungkap sebagai makna aplikatif (dilâlat al-nashsh). Namun boleh jadi makna tekstual tersebut menyiratkan makna lain (isyârat al-nashsh) sebagai dilâlah skunder.
Lafal muhkam merupakan tingkat tertinggi dari lafal yang petunjuknya jelas. Sedangkan lafal mutasyâbih merupakan tingkat tertinggi dari lafal yang petunjuknya tidak jelas, artinya lafal yang paling tidak jelas maknanya. Lafal muhkam adalah lafal yang menunjukkan suatu makna dengan sangat jelas dan pasti, tidak menerima ta’wîl, takhshîsh, dan naskh. Lafal mufassar pada dasarnya adalah lafal muhkam yang tidak mungkin di-naskh. Keduanya sama-sama jelasnya, tapi kekuatan petunjuk lafal muhkam jauh lebih kuat.[14] Lawan lafal muhkam adalah lafal mutasyâbih.
Ketentuan dalam kalimat yang muhkam wajib diamalkan sesuai dengan petunjuk tekstualnya, tidak pernah berubah dalam berbagai keadaan. Makna lafal muhkam tidak dapat dipalingkan dari makna lahirnya. Kehujjahan lafal muhkam menempati peringkat tertinggi dibandingkan kehujjahan lafal-lafal yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal muhkam terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh) dan tidak menutup kemungkinan adanya dilâlah skunder pada makna yang tersirat (isyârat al-nashsh).
Sedangkan lafal mutasyâbih adalah lafal yang terlalu sulit untuk diketahui maknanya yang dikehendaki. Jadi ia merupakan lafal yang berada pada puncak kesamaran maksudnya. Sebaliknya, lafal muhkam berada pada puncak kejelasan maksudnya.[15] Oleh karena itu lafal mutasyâbih harus disikapi dengan sangat berhati-hati dalam melakukan ta’wîl terhadapnya disertai niat yang tulus dan keyakinan yang kokoh bahwa maksud Rasulullah Saw. dengan lafal tersebut pasti benar, hanya saja kita belum bisa sepenuhnya menangkap maksud tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dilâlah primer lafal mutasyabih tidak terdapat pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh), melainkan pada makna yang tersirat (isyârat al-nashsh) setelah diupayakan ta’wil-nya secara maksimal dan penuh kehati-hatian.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lafal-lafal yang menunjukkan makna yang qath`iy adalah lafal-lafal yang dilalah primernya terletak pada makna tekstualnya (`ibârat al-nashsh), yaitu lafal-lafal yang nashsh, mufassar, dan muhkam. Sedangkan lafal-lafal yang menunjukkan makna yang zhanniy adalah lafal-lafal yang dilalah primernya tidak terdapat pada makna tekstualnya, melainkan pada makna tersiratnya (isyârat al-nashsh).
C. Macam-macam Dilâlah Lafal atas Kandungannya
Macam-macam karakter lafal tersebut di atas menuntut ketelitian dan kesungguhan para peneliti dan mufassir dalam memahami makna dan maksud setiap lafal dalam Al-Quran dengan segala karakternya agar dapat mengambil dilâlah dari setiap ayat Al-Quran yang dihadapinya dengan tepat. Selain itu mereka dituntut untuk mengembangkan pemahaman dilâlah ayat seluas-luasnya dengan menggunakan seluruh indikasinya, menganalisis keluasan makna lafal dengan menghimpun seluruh satuan yang tercakup di dalamnya, dan mengidentifikasi sejumlah faktor yang menjadi pijakan implementasinya.
Memahami macam-macam dilâlah suatu lafal merupakan modal yang sangat penting dalam mensyarah hadis dan mengambil berbagai kesimpulan darinya. Kajian ini dirumuskan oleh para ulama ushul fiqh dalam kaitannya dengan penyusunan ushûl al-istinbâth, ushûl al-tafsîr, ushûl al-istidlâl, dan ushûl al-tasyrî`.[16]
Di kalangan ulama madzhab Hanafi dikenal empat macam dilâlah, yaitu `ibârat al-nashsh, isyârat al-nashsh, dilâlat al-nashsh, dan iqtidhâ’ al-nashsh. Istilah keempat macam dilâlah sering juga disebut dengan dilâlat al-`ibârah, dilâlat al-isyârah, dilâlat al-nashsh, dan dilâlat al-iqtidha’. Sedangkan di kalangan ulama madzhab Syafi`i dikenal dua macam dilâlah, yaitu dilâlat al-manthûq dan dilâlat al-mafhûm. Masing-masing terbagi menjadi dua, yaitu dilâlat al-manthûq al-sharîhah dan dilâlat al-manthûq ghair al-sharîhah serta dilâlat al-mafhûm muwâfaqah dan dilâlat al-mafhûm mukhâlafah. Selanjutnya dilâlat al-mafhûm muwâfaqah dibagi menjadi dua, yaitu fahwâ al-khithâb dan dalil al-khithâb.[17]
Di kalangan ulama ushul fiqh pendekatan dengan keempat teori dilâlah tersebut dilakukan secara terpisah, karena yang menjadi fokus perhatian mereka adalah masalah hukum dalam arti aturan formal syari`at yang berkaitan dengan perilaku manusia. Akan tetapi, karena pembahasan metodologi penafsiran Al-Quran tidak hanya difokuskan pada pengambilan hukum, melainkan juga untuk mengungkap sebanyak-banyaknya petunjuk ayat dan tuntutan maknanya, maka pendekatan dengan keempat macam dilâlah tersebut dapat dilakukan sekaligus terhadap suatu ayat Al-Quran, sehingga berbagai kesimpulan dapat diambil darinya. Kesimpulan-kesimpulan dimaksud tidak semuanya merupakan dilâlah primer dari ayat yang bersangkutan, melainkan juga dilâlah skunder, dan bahkan dilâlah tersier yang merupakan ruang pemgembangan implikasi makna apabila diperlukan. Demikian juga bila penafsiran menggunakan pendekatan teori dilâlat al-manthûq dan dilâlat al-mafhûm di kalangan ulama madzhab Syafi`i, dapat dilakukan sekaligus. Pada pembahasan selanjutnya istilah-istilah yang digunakan adalah istilah-istilah yang dipergunakan di kalangan ulama madzhab Hanafi, semata-mata karena istilah-istilahnya lebih praktis.
`Ibârat al-nashsh adalah petunjuk lafal atas makna yang segera dipahami secara tekstual, baik makna aslinya maupun makna yang datang kemudian. Isyârat al-nashsh adalah petunjuk lafal atas makna yang tidak segera dipahami secara tekstual, namun merupakan konsekuensi logis dari makna tekstualnya, baik logis rasional maupun logis tradisional. Dilâlat al-nashsh adalah petunjuk lafal atas berlakunya makna lafal atas makna yang tidak terucap karena adanya faktor kesamaan yang menjadi alasan pemberlakuan tersebut (identik dengan teori qiyâs). Sedangkan iqtidhâ’ al-nashsh adalah petunjuk lafal atas keharusan adanya sesuatu (lafal atau harf) yang tidak terucap dan sesuatu itu menjadi kunci bagi pemahaman lafal tersebut.[18] Singkatnya `ibârat al-nashsh adalah petunjuk tekstual, isyârat al-nashsh adalah petunjuk yang tersirat dibalik makna tekstual, dilâlat al-nashsh adalah petunjuk kontekstual sebagai langkah pengembangan dengan prinsip qiyas, dan iqtidhâ’ al-nashsh adalah keharusan adanya kata kunci ekstern bagi pemahaman lafal tersebut.
Berikut ini adalah contoh bagi pendekatan keempat dilâlah tersebut beserta sejumlah kesimpulan yang dapat diambil,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا ءَامِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ(2)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al-Ma’idah: 2)
Dilihat dari karakter lafalnya, ayat ini terdiri dari enam kalimat dengan rangkaian kata-kata dan karakternya masing-masing.
1) يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا ءَامِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا
Kalimat ini terdiri dari sejumlah kata. secara harfiah bermakna janganlah kamu menghalalkan, suatu makna yang operasionalnya sangat bermacam-macam tergantung kepada obyeknya dan hal-hal lainnya. Oleh karena itu lafal ini termasuk kata yang mujmal. Dan untuk memahami maknanya harus dikaitkan dengan obyeknya. Lafal “sya`â’ir Allah” –sebagai obyek lafal “lâ tuhillû”- juga merupakan kata yang mujmal, karena ia berbentuk jamak sehingga mencakup banyak makna.[19] Makna-makna tersebut tidak dapa dipilih begitu saja, melainkan harus berdasarkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan salah satu maknanya secara khusus, baik indikasi dari dalam teks berupa rangkaian kalimat sebelum dan sesudahnya maupun indikasi dari luar teks berupa ayat lain, hadis, ketentuan umum syari`at, konteks budaya Arab Quraisy ketika ayat turun, dan logika bahasa. Indikasi yang terdapat dalam ayat ini antara lain berupa rangkaian kata-kata berikutnya, yang merupakan penyebutan kata umum setelah kata yang khusus. Dengan demikian sebagian dari cakupan makna “sya`âir Allah” adalah “al-syahr al-harâm, al-hady, dan al-qalâ’id, dan âmmîn al-bayt al-harâm yabtaghûn fadhlan minallâh wa ridhwânan”.
Makna “sya`â’ir” adalah segala sesuatu yang dijadikan sebagai simbol-simbol kekuasaan dan keagungan Allah. Banyak riwayat menjelaskan bahwa kedua ayat ini, bahkan surat Al-Ma’idah, turun pada haji wada` sekaligus, maka konteks ayat ini berkenaan dengan ibadah haji, sehingga makna lafal “sya`â’ir” berkisar pada ketentuan pokok dan rincian ibadah haji, tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji, dan larangan-larangan sehubungan dengan pelaksanaan ibadah haji. Sementara itu lafal-lafal cakupannya juga dalam konteks ibadah haji. Lafal “al-syahr al-harâm”, meskipun mencakup empat bulan, namun dalam ayat ini konteksnya adalah bulan yang menjadi waktu pelaksanaan ibadah haji, yaitu bulan Dzul Hijjah. Sedangkan larangan menghalalkan bulan haram adalah larangan mendahului perang padanya. Jadi petunjuknya qath`iy. Lalal “al-hady, dan al-qalâ’id” adalah `alam (nama), sehingga petunjuknya juga qath`iy, sedangkan larangan menghalalkannya yang paling mudah dipaham adalah larangan mengganggu hewan-hewan yang telah dijadikan sebagai hadyu dan qala’id. Namun demikian ada kemungkinan lain, yaitu larangan tidak menunaikan hadyu atau tidak mengikuti prosedur dan teknik hadyu dan qala’id.
Lafal “âmmîn al-bayt al-harâm” paling tepat diartikan sebagai orang-orang yang bermaksud ke baitullah untuk menunaikan haji atau umrah, karena indikasi yang menunjukkan kepada makna tersebut cukup kuat, lebih-lebih diiringi keterangan tentang maksud kedatangan mereka ke baitullah itu, yaitu untuk mencari anugerah dan keridhaan Allah. Di antara indikasi tersebut adalah kalimat berikutnya, “wa idzâ halaltum fa ishthâdû”.
Dengan berpijak kepada indikasi-indikasi tersebut di atas dan indikasi-indikasi lainnya, maka kalimat tersebut dapat dikatagorikan sebagai lafal mufassar, sehingga dapat memberikan petunjuk yang qath`iy. Dengan demikian jenis dilalahnya `ibarat al-nashsh.
Dalam tafsir Al-Quthubi dijelaskan bahwa Ibnu Abbas menyatakan bahwa ayat ini muhkam dan tidak mansûkh bagi orang-orang Muslim dan larangannya bersifat umum, baik di bulan haram maupun di luar bulan haram.
2) وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا
Lafal “halaltum” adalah fi`l lâzim dan merupakan akibat dari “tahallala” yang dalam konteks haji adalah melakukan kegiatan yang menandai selesainya ihram haji atau umrah. Lafal “fa ishthâdû” juga merupakan lafal yang maknanya sangat jelas, yaitu perintah/izin untuk berburu atau menyembelih dan memakan hewan buruan. Dengan demikian kalimat ini juga muhkam dan maknanya qath`iy. Wa qis al-bâqiy `alayh!.

Pendekatan
Dilalah yang dapat diambil
`ibârat al-nashsh dari kalimat 1
Melanggar ketentuan pelaksanaan ibadah itu dilarang, termasuk melanggar peraturan di bulan haram, mengganggu binatang yang telah diserahkan kepada kepentingan baitullah, dan mengganggu orang yang melaksanakan haji atau umrah.
Isyârat al-nashsh dari kalimat 1
Orang-orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah wajib memenuhi berbagai ketentuan yang berbaitan dengan ibadah ibadah haji dan umrah, ketentuan-ketentuan seputar bulan haram, hadyu dan qala’id, serta ketentuan-ketentuan seputar hak dan kewajiban orang-orang yang menunaikan haji dan umrah.
Dilâlat al-nashsh dari kalimat 1
Melanggar simbol-simbol keagungan Allah itu dilarang, seperti melanggar ketentuan pelaksanaan ibadah, waktu ibadah, sarana ibadah, dan pelaku ibadah.
`ibârat al-nashsh dari kalimat 2
Berburu dihalalkan kembali bagi orang yang telah menyelesaikan menunaikan haji atau umrah dan telah bertahallul.
Isyârat al-nashsh dari kalimat 2
Batas waktu pelarangan berburu bagi orang yang menunaikan ibadah haji atau umrah adalah sejak ia melakukan ihram sampai ia mengakhirinya.
Dilâlat al-nashsh dari kalimat 2
Seluruh apa yang halal bagi orang yang tidak sedang ihram menjadi halal kembali setelah ihramnya selesai.

D. Pengaruh Qath`iy dan Zhanniy
Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa lafal-lafal yang mengandung petunjuk qath`iy harus dipahmi petunjuknya secara tekstual (`ibârat al-nashsh), meskipun tidak menutup kemungkinan untuk dipahami secara konotatif dengan mengambil petunjuk yang tersirat (isyârat al-nashsh). Bahkan sebagai langkah pengembangan dan kontekstualisasi perlu digali dilât al-nashsh dengan berpijak kepada prinsip qiyâs. Kehadiran ketiga petunjuk tersebut tidak perlu dipahami sebagai sebuah pertentangan, melainkan sebagai keluasan makna Al-Quran. Sementara itu lafal-lafal yang mengandung petunjuk zhanni tidak dapat dipahami petunjuknya secara tekstual (`ibârat al-nashsh), melainkan secara konotatif (isyârat al-nashsh). Namun, sama-sama dapat dikembangkan kepada dilât al-nashsh.
Hanya saja jenis lafal yang tidak menerima ta’wil, yaitu muhkam dan mufassar, dalam Al-Quran tidak sebanyak jenis lafal yang menerima ta’wil, sehingga peluang untuk mena’wilkan Al-Quran itu sangat besar. Selain itu, kemampuan para pengamat dan penafsir Al-Quran menangkap petunjuk-petunjuk ayat Al-Quran, baik `ibârat al-nashsh, isyârat al-nashsh, maupun dilât al-nashsh, sangat bervariasi. Ditambah lagi sangat sulit seseorang melepaskan diri dari berbagai pora berpikir yang telah terbentuk dalam dirinya, sama sulitnya dengan menghindari kecenderungan-kecenderungan subyektif.
Di antara pengaruh yang ekstrim dari konsep qath`iy dan zhanniy adalah lahirnya sejumlah madzhab di bidang akidah dan syari`ah atau hukum. Idealnya lafal yang qath`iy tidak lagi menimbulkan perbedaan pendapat, karena lafal yang qath`iy merupakan wujud dari umm al-kitâb. Sedangkan lafal yang zhanniy sebenarnya bukanlah merupakan arena untuk berbeda pendapat, namun kemungkinan perbedaan pendapat tersebut sangat besar. Hanya saja ada kaidah yang sangat moderat dalam menyikapi perbedaan pendapat, yaitu al-khurûj min al-khilâf mustahabb. Selain itu, sebaiknya apabila suatu lafal telah dapat dipaham dan diamalkan secara tekstual, maka hendaknya tidak terlalu dipaksakan makna yang berada di balik makna tekstualnya.
Sehubungan dengan hal itu, sebagian pengamat kemudian menyikapi keadaan ini dengan “berlapang dada” dan mengaitkan konsep qath`iy dan zhanniy kepada ketentuan umum yang disepakati dan yang tidak disepakati. Ketentuan umum yang benar-benar qath`iy dan disepakati atau diakui mayoritas umat sebagai pokok ajaran Islam selanjutnya dijadikan sebagai kriteria qath`iy, sedangkan ketentuan umum yang tidak disepakati atau tidak diakui mayoritas umat sebagai pokok ajaran Islam selanjutnya menjadi kriteria zhanniy. Kriteria yang demikian tidak sepenuhnya benar, karena sebenarnya konsep qath`iy dan zhanniy itu berangkatnya dari petunjuk teks Al-Quran dan kehendak Allah. Kesalahan ini terbukti bahwa apabila kriteria qath`iy dan zhanniy itu kesepakatan dan ketidaksepakatan, maka ketika terjadi perbedaan pendapat di antara umat tidak dapat dikembalikan kepada petunjuk teks Al-Quran dan kehendak Allah.
Masalah batalnya wudhu karena kentut dan buang air besar atau kecil telah disepakati, lalu tidur dan persentuhan kulit anatara laki-laki dan wanita dewasa yang bukan mahram tidak disepakati. Lalu kasus ini bagi para penganut masing-masing pendapat tersebut berpengaruh dalam penafsiran terhadap “aw lâmastum al-nisâ’” (QS Al-Nisa’: 43 dan Al-Ma’idah: 6). Masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan sejumlah argumentasi. Apakah cara yang demikian dapat dibenarkan? Maka para ulama menerapkan kaidah dalam menyikapi ikhtilaf, yaitu al-khurûj min al-khalâf mustahabb yang berangkat dari prinsip ihtiyâth (kehati-hatian).
E. Penutup
Makalah yang sedemikian singkat rasanya hampir seluruhnya merupakan kesimpulan dari sekian tulisan yang penulis baca dan dari sekian pikiran penulis. Oleh karena itu penulis tidak membuat kesimpulan. Hanya saja penulis berharap semoga makalah ini dapat menggugah keingintahuan kita semua untuk mengejar petunjuk-petunjuk yang qath`iy dari Al-Quran, tanpa mengesampingkan petunjuk-petunjuk yang zhanniy.












DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdurrahman, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Quran (Disusun berdasarkan Al-Qawâ`id al-Hisân li Tafsîr al-Qur’ân karya Al-sa`di), Mizan, Bandung, 1997.
Dzahabi, Muhammad Husain Al-, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dar al-Kutub al-Haditsah, Kairo, 1961.
Ibnu Katsir, Abu al-Fida Isma`il Al-Qurasyi Al-Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, Dar al-Fikr, 1984.
Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ushul al-Tafsîr wa Qawâ`iduhu, Dar al-Nafais, Beirut, 1986.
Khudhari Muhammad Al-, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, t.t., 1981.
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, PT Al-Ma`arif, Bandung, 1986.
Qurthubi, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Faraj Al-Anshari Al-, Al-Jâmi` li-Ahkâm al-Qur’ân, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, t.t.
Suyuthi, Jalaluddin bin Abdurrahman Al-, Al-Itqân fi `Ulûm al-Qurân, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, t.t.
Syairazi, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al-Fairuzabadi Al-Syafi`i Al-,  Al-Luma` fî Ushûl al-Fiqh, Syirkah Maktabah wa Mathba`ah Ahmad bin Sa`d bin Nabhan wa Auladuhu, Surabaya, t.t.


[1] Dalam tataran ilmu dilâlah praktis, yaitu menurut ulama ushul fiqh, maksud pembicara yang tidak sesuai dengan makna redaksi kalimatnya disebut sebagai isyârat al-nashsh atau dilâlat al-isyârah. Makna kalimat disebut sebagai `ibârat al-nashsh atau dilâlat al-`ibârah. Sedangkan informasi obyektif kalimat disebut sebagai dilâlat al-nashsh atau dilâlat al-dilâlah.
[2] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, t.t., 1981, Hlm. 129; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ushul al-Tafsîr wa Qawâ`iduhu, Dar al-Nafais, Beirut, 1986, Hlm. 327. Tawil adalah memahami suatu lafal berdasarkan kepada salah satu maknanya yang jauh dengan meninggalkan makna yang paling dikenal. Dalam perkembangan analisis teks mutakhir konsep tawil merupakan dasar pijakan bagi hermeneutika.
[3] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Ibid, Hlm. 135; Al-Bazdawi, Ushûl al-Bazdawi, I: 52 dikutip dari Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ushul al-Tafsîr wa Qawâ`iduhu, Hlm. 344. Sementara Al-Sarkhasi dalam Ushul al-Sarkhasi, I: 176 menyatakan bahwa faktor penghalang itu berada dalam redaksi kalimat yang bersangkutan.
[4] Takhshish secara sederhana berarti pengkhususan makna pada sebagian satuan-satuan yang tercakup dalam suatu kata dengan mengecualikan satuan yang lainnya.
[5] Indikasi qath`iyyat dilâlat al-lafzhi adalah apabila pengertian yang ditunjuk oleh lafal tersebut tidak dapat ditafsirkan kepda arti yang di luar artinya yang semula. Lihat Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Hlm. 56.
[6] Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ushul al-Tafsîr wa Qawâ`iduhu, Hlm. 329-331.
[7] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Ibid, Hlm. 129, 135; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ibid, Hlm. 329, 347; Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Kaidah-kaidah Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Hlm. 287.
[8] Khalid Abdurrahman Al-`Ak (Ibid, Hlm. 347) mengemukakan salah satu contoh kemunykilan jenis ini dengan mengutip firman Allah, qawârîra min fidhdhah (gelas-gelas dari perak QS Al-Insan: 16), padahal lazimnya gelas terbuat dari kaca.
[9] Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ibid, Hlm. 350.
[10] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Ibid, Hlm. 129, 135.
[11] Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ibid, Hlm. 332, 352. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa lafal mujmal ada tiga macam, 1) Lafal mujmal yang tidak dikenal dalam bahasa sehari-hari dan tidak diketahui maknanya sebelum ditafsirkan, seperti lafal halû` (berkeluh kesah); 2) Lafal yang dalam bahasa sehari-hari diketahui maknanya, namun bukan makna sehari-hari itu yang dikehendaki, seperti riba, shalat, dan zakat; dan 3) Lafal yang diketahui maknanya dalam bahasa sehari-hari, namun maknanya banyak dan hanya salah satunya yang dikehendaki.
[12] Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ibid, Hlm. 354.
[13] Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Kaidah-kaidah Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Hlm. 290.
[14] Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Ibid, Hlm. 129; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ibid, Hlm. 335; Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Kaidah-kaidah Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Hlm. 281.
[15] Banyak ulama salaf memahami lafal mutasyabih sebagai lafal yang mustahil diketahui makna yang dimaksudkan dan harus disikapi dengan tawaqquf dengan tidak melakukan tawil. Lihat Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Ibid, Hlm. 135; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ibid, Hlm. 355. Namun, baik Al-Quran maupun hadis, tidak menutup kesempatan sedemikian rupa. Al-Quran menyebutkan bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya dapat mengetahui tawil lafal-lafal mutasyabihat (QS Ali Imran: 7). Rasulullah Saw. juga menyatakan bahwa di antara halal dan  haram terdapat hukum musytabihat, semakna dengan mutasyabihat, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia (HR Jama`ah). Hal ini menunjukkan bahwa dengan upaya yang maksimal dan dengan bekal keilmuan tertentu, seseorang dapat mengetahui makna yang dimaksud dari lafal yang mutasyabih tersebut dalam batas kemampuan nalar manusia. Namun harus disertai keyakinan bahwa maksud Rasulullah Saw. yang hakiki mungkin lain, sehingga tidak mengklaim pendapatnya itulah yang paling benar ketika ada pendapat yang lain.
[16] Ushûl al-istinbâth adalah prinsip-prinsip pengambilan makna inti dan kesimpulan hukum dari ayat Al-quran, hadis, maupun dalil-dalil lain, atau prinsip-prinsip pengambilan hukum secara deduktif. Ushûl al-tafsîr adalah prinsip-prinsip penafsiran Al-Quran dan hadis serta pengembangannya. Ushûl al-istidlâl adalah prinsip-prinsip pengambilan hukum secara induktif. Sedangkan ushûl al-tasyrî` adalah prinsip-prinsip penetapan dan penerapan hukum syari`ah serta penuangannya dalam kitab-kitab hukum atau undang-undang.
[17] Muhammad Al-Khudhari, Op Cit, 118-123; Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al-Syairazi Al-Fairuzabadi Al-Syafi`i, Al-Luma` fî Ushûl al-Fiqh, Syirkah Maktabah wa Mathba`ah Ahmad bin Sa`d bin Nabhan wa Auladuhu, Surabaya, t.t., Hlm. 24.
   `Ibârat al-nashsh identik dengan dilâlat al-manthûq al-sharîhah, isyârat al-nashsh identik dengan dilâlat al-manthûq ghair al-sharîhah, dilâlat al-nashsh identik dengan dilâlat al-mafhûm yang dibagi menjadi dua, yaitu fahwâ al-khithâb (qiyas jaliy maupun qiyas khafiy) dan dalil al-khithâb (mafhûm mukhâlafah), meskipun para ulama madzhab Hanafi menolak teori dalîl al-khithâb. Sedangkan iqthidhâ al-nashsh identik dengan lahn al-khithâb. Keterangan di atas menunjukkan bahwa perbedaan antara ulama Hanafiyah dan Syafi`iyah dalam konsep dilâlah terletak pada dilâlat al-mafhûm mukhâlafah atau dalil al-khithâb, yaitu apabila hukum yang diambil dari lafal itu berkaitan dengan salah satu sifat subyek hukumnya, sehingga hukum tersebut menunjukkan ketentuan lain bagi subyek hukum dengan sifat yang lain, seperti ketika Al-Quran memerintahkan untuk melakukan ceking berita yang disampaikan oleh orang fasik, maka mafhum mukhâlafah-nya adalah bila berita itu datang dari orang yang adil tidak perlu diragukan dan diceking sedemikian rupa.
[18] Muhammad Al-Khudhari, Op Cit, 118-123; Khalid Abdurrahman Al-`Ak, Ibid, Hlm. 362-374.
[19] Makna-makna lafal ini dapat dilihat dalam kitab-kitab tafsir, seperti Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jâmi` li-Ahkâm al-Qur’ân dan Tafsir Ibnu Katsir. Ibnu Abbas menyatakan bahwa syi`âr yang dimaksud adalah seluruh ibadah yang dilakukan, sedangkan Mujahid menafsirkan dengan bukit Shafa dan bukit Marwah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar